Menakar Ketegasan SMAP: Antara Komitmen Moral dan Implementasi Nyata di Pengadilan Negeri Bandung

Avatar photo

Oleh: Gun Gun ( Uwa Kaboa)

Porosmedia.com – Ketika publik membaca banner “Sistem Manajemen Anti Penyuapan (SMAP)” yang terpampang di Pengadilan Negeri Bandung, harapan pada supremasi hukum tampak seperti mendapat semangat baru. Dalam dokumen resmi bernomor 3746/KPN-W11.U1/KP.00.1/VIII/2024 tertanggal 15 Agustus 2024 tersebut, termuat lima komitmen moral dan kelembagaan yang menolak segala bentuk penyuapan, gratifikasi, dan pungutan liar. Tapi apakah komitmen ini cukup hanya dengan deklarasi?

Secara substansi, isi banner tersebut mengusung semangat reformasi birokrasi yang sejalan dengan prinsip integritas publik. Poin pertama menyatakan pelayanan berkualitas tanpa pungli sebagai prinsip dasar. Poin kedua menegaskan larangan keras terhadap segala bentuk pemberian atau permintaan keuntungan tidak semestinya—baik langsung maupun tidak langsung. Bahkan lebih jauh, poin-poin lainnya menggarisbawahi peningkatan kapasitas SDM, evaluasi berkala, dan penerapan sistem manajemen anti-penyuapan yang terintegrasi.

Namun, pertanyaan kritis muncul: apakah pesan moral ini diterjemahkan dalam kerja nyata atau sekadar menjadi ornamen etis di sudut ruang tunggu pengadilan?

Realitas hukum di Indonesia kerap berada di ruang abu-abu antara teks normatif dan praktik empirik. Tidak sedikit kasus korupsi dan mafia peradilan yang justru berakar di lembaga-lembaga penegak hukum itu sendiri. Komitmen anti-suap, tanpa kontrol independen dan sistem pelaporan yang transparan, hanya akan menjadi jargon retoris yang mudah dilupakan.

Baca juga:  Trotoar Ramah Disabilitas: Bandung Uji Coba Laboratorium Ruang Publik di Sekitar Taman Lalu Lintas

Publik membutuhkan lebih dari sekadar papan pengumuman. Dibutuhkan pengawasan melekat oleh Komisi Yudisial, Ombudsman, serta pelibatan aktif masyarakat sipil untuk mengawasi integritas peradilan. Pelaporan gratifikasi harus difasilitasi secara mudah dan aman. Evaluasi berkala sebagaimana dijanjikan dalam poin kelima kebijakan tersebut harus benar-benar dilakukan dan diumumkan secara terbuka.

Selain itu, pimpinan Pengadilan Negeri Bandung harus berani menindak tegas jika ada pelanggaran di internal mereka sendiri. Komitmen antikorupsi tidak bisa bersifat simbolik, melainkan harus ditunjukkan melalui keberanian menghadapi praktik-praktik busuk yang bersembunyi di balik jubah hukum.

Pada akhirnya, masyarakat tak butuh pidato, tetapi pembuktian. Transparansi bukan dimulai dari baliho, tapi dari langkah-langkah konkret yang menyentuh struktur, budaya, dan mekanisme internal lembaga hukum. SMAP adalah langkah awal yang patut diapresiasi—namun ia harus dikawal agar tak berhenti sebagai janji kosong.