Porosmedia.com, Subang – Laut yang dulu memberi kehidupan, kini perlahan menelan tanah, rumah, bahkan harapan. Itulah yang dirasakan masyarakat Desa Mayangan, Kecamatan Legonkulon, Subang, Jawa Barat—desa kecil di pesisir utara Pulau Jawa yang menjadi saksi bisu dari keganasan perubahan iklim.
Lewat film dokumenter terbaru berjudul “Matra Pantura: Dialog Perubahan Iklim di Batas Pesisir,” EIGER Films mengajak kita menyelami kenyataan pahit warga pesisir yang hidup di garis depan krisis lingkungan.
Disutradarai oleh Athory Malik, film ini tidak sekadar menampilkan lanskap yang berubah, tetapi menampilkan wajah-wajah yang terdampak langsung—salah satunya adalah Abah “Ncay” Carwita, nelayan tua yang sejak kecil bersahabat dengan laut, dan kini harus menyaksikan laut menjadi ancaman.
“Semakin sore banjir semakin besar,” suara Abah Ncay lirih di awal film. “Kalau malam, kita mau kabur ke mana?” tambahnya dengan tawa getir.
Garis pantai di Desa Mayangan telah mundur 1,4 kilometer sejak 2002. Hutan mangrove yang dulu menjadi benteng alami dan rumah bagi ikan-ikan kini hampir musnah, tergantikan oleh air asin yang menyusup pelan namun pasti.
Abah Ncay mengenang masa lalu ketika ia bisa melaut hingga ke Indramayu, ketika tambak melimpah dan hutan mangrove memberi perlindungan. “Kalau nggak ada mangrove, ikannya kosong,” katanya. Kini, jalan ke Pulau Burung yang dulu bisa dilalui mobil pun telah terendam laut—aksesnya hanya mungkin dengan perahu.
Tsunami Aceh 2004 disebut sebagai titik balik. Sejak itu, abrasi kian agresif. Tambak hilang, pohon mangrove pun tak lagi tumbuh liar. Padahal bagi masyarakat kecil seperti Abah Ncay, mangrove bukan sekadar pohon—tapi fondasi ekosistem, tempat ikan, kepiting, dan harapan bertahan hidup.
Namun harapan tidak sepenuhnya hilang. Film ini juga menyorot kerja kolaboratif antara warga dan organisasi lingkungan seperti Wanadri, lewat gerakan Siaga Pesisir Utara atau Siput. Tokoh muda seperti Dadan Sulaeman dan Tomi Subaroh bekerja bersama warga menanam mangrove, memberi nama pada tiap tiga pohon yang mereka tanam—sebuah bentuk cinta dan komitmen terhadap tanah air mereka.
“Desa Mayangan memang kecil,” kata Dadan, “tapi memori dan semangatnya besar. Kalau mau bangun desa ini, ayo bareng-bareng.”
Mereka melakukan patroli hingga ke Petak 33, menyusuri jejak-jejak abrasi, dan menyemai harapan dengan tangan sendiri. Tak sekadar simbolik, aksi mereka adalah perlawanan sunyi terhadap ketidakpedulian kolektif.
Mansyurb, Wali Mangrove dari Wanadri, memandang kerja mereka bukan sebagai pencapaian heroik, melainkan kewajiban. “Membantu Desa Mayangan bukan hal luar biasa. Ini janji kami, untuk mengalamkan alam dan memanusiakan manusia,” tegasnya.
Irawan Marhadi, Operational Director Wanadri, mengingatkan bahwa ini lebih dari soal banjir dan pantai. Ia melihat fenomena eksodus diam-diam masyarakat pesisir ke tengah pulau, membuka hutan karena tanah leluhur mereka telah tenggelam. “Ini bukan cuma krisis iklim. Ini juga soal tata ruang, soal keadilan,” ungkapnya serius.
Ia menyentil bahwa hingga kini, perencanaan jangka panjang belum tampak. “Jangka pendek saja tidak kita pikirkan,” katanya. “Padahal masyarakat pesisir itu saudara kita. Mereka memilih jadi pelaut, bukan petani. Tapi kini, mereka kehilangan lautnya.”
“Matra Pantura” bukan sekadar film dokumenter. Ia adalah refleksi mendalam dan seruan kolektif untuk bertindak. EIGER Films menyajikannya bukan dengan narasi dramatis, tapi dengan kejujuran lanskap dan suara-suara kecil yang selama ini luput dari wacana publik.
Dari Subang, Jakarta, Rembang, Demak, hingga Brebes, abrasi bukan lagi ancaman laten, tapi bencana yang sedang berlangsung. Dengan film ini, EIGER berharap membuka ruang dialog, membangun kesadaran, dan menginspirasi langkah-langkah nyata.
Karena garis pantai mungkin bisa bergeser, tetapi batas kepedulian kita terhadap sesama dan bumi—tidak boleh surut.