Maling di Rumah Sendiri: Staf Bank bjb Diduga Bobol Brankas Cabang Soreang, Rp 2,5 Miliar Lenyap Tanpa Jejak

Avatar photo

Porosmedia.com, Soreang – Skandal demi skandal terus membayangi Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten (Bank BJB). Kali ini, sebuah kasus dugaan pembobolan brankas senilai Rp 2,5 miliar oleh staf internal di Kantor Cabang Soreang mencuat ke permukaan. Ironisnya, uang tersebut diduga digasak langsung dari brankas ATM, tepat di jantung sistem keamanan internal bank itu sendiri.

Sumber internal menyebutkan bahwa praktik pembobolan ini telah terjadi sejak beberapa waktu lalu, namun baru terungkap sekitar Juni 2025. Lebih mengejutkan, kasus ini diduga sengaja ditutup-tutupi oleh manajemen, menambah daftar panjang problem sistemik yang menggerogoti kredibilitas bank milik daerah ini.

“Kasus fraud ini tidak dibuka ke publik, bahkan di kalangan karyawan sendiri hanya terdengar sebagai bisik-bisik,” ujar salah satu karyawan BJB yang enggan disebutkan namanya kepada Media, Kamis (10/7/2025).

Kasus ini menambah beban reputasi BJB, yang sebelumnya telah dililit dua perkara besar:

• Dugaan korupsi pengadaan iklan senilai Rp 409 miliar yang sedang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Baca juga:  Dualisme PWI dan Jalan Terjal Rekonsiliasi Pers Indonesia

• Kredit macet kepada PT Sritex sebesar Rp 543 miliar yang kini dalam penanganan Kejaksaan Agung.

Kini, dengan adanya dugaan pembobolan internal di Cabang Soreang, publik kembali dipertontonkan betapa rapuhnya sistem pengawasan dan akuntabilitas internal BJB, bahkan pada titik yang seharusnya paling aman: brankas fisik di kantor cabang.

Ketika dikonfirmasi, Pimpinan Cabang BJB Soreang, Dody Setiawan, memilih untuk tidak memberikan klarifikasi langsung.

“Nanti Corsec ya Pak, tidak via saya, punten,” ucap Dody singkat, melempar tanggung jawab kepada pihak Corporate Secretary.

Sikap ini mengundang tanda tanya besar. Dalam sebuah sistem manajemen yang sehat, pimpinan cabang seharusnya menjadi garda depan penjelasan publik saat krisis kepercayaan muncul. Namun respons Dody justru mencerminkan budaya diam dan penghindaran tanggung jawab, sesuatu yang semakin jamak dalam tubuh BJB.

Pertanyaan kritis yang kini harus dijawab oleh manajemen adalah: bagaimana mungkin seorang staf bisa mengakses dan menguras isi brankas bank tanpa terdeteksi?

Di mana fungsi CCTV, pengawasan ganda (dual control), dan sistem audit internal?

Baca juga:  Logam Tanah Jarang

Mengapa manajemen pusat maupun OJK tidak segera melakukan klarifikasi terbuka atas kasus ini?

Dan yang paling penting: apakah ini kasus tunggal atau bagian dari pola sistemik yang lebih luas?

Skandal ini sekali lagi menjadi alarm keras bagi Pemerintah Provinsi Jawa Barat selaku pemegang saham pengendali. Jika kasus ini tidak ditangani secara transparan dan tuntas, maka bukan hanya BJB yang kehilangan kepercayaan—tetapi juga Pemerintah Daerah yang telah menitipkan keuangan publik di dalamnya.

Publik mendesak agar:

Kepala OJK Regional segera turun tangan melakukan investigasi independen.

Audit forensik dilakukan atas seluruh cabang BJB, dimulai dari Soreang.

Manajemen puncak BJB memberikan keterangan terbuka, bukan sekadar menghindar di balik alasan prosedur.

Skandal ini bukan hanya soal uang yang raib—tapi juga soal hilangnya etika, transparansi, dan rasa aman publik terhadap institusi keuangan daerah.

Peran Pers masih terus menelusuri keterkaitan lebih jauh antara dugaan pembobolan ini dengan pola kelemahan pengawasan internal Bank BJB.