Porosmedia.com, Bandung –Meningkatnya kebutuhan layanan kesehatan yang merata dan terjangkau, Laboratorium Kesehatan Provinsi Jawa Barat (Labkes Jabar) merayakan ulang tahun ke-55 dengan gebrakan baru: peluncuran Bus Keliling Medical Check Up (MCU) yang diklaim sebagai yang pertama dan terlengkap di Indonesia. Namun, terobosan ini tak lepas dari tantangan mendasar soal anggaran, pemerataan layanan, dan keberlanjutan sistem kesehatan publik di daerah.
Acara syukuran digelar sederhana pada Kamis, 26 Juni 2025, usai sempat tertunda dua pekan karena proses akreditasi internasional. Dipimpin langsung oleh dr. Ryan Bayusantika Ristandi, Sp.PK, MMRS, Kepala UPTD Labkes Jabar, acara juga dimeriahkan dengan pemeriksaan gratis dan donor darah di tiga lokasi: Kantor Labkes Jabar, Kecamatan Husein Sastranegara (Kota Bandung), dan Parongpong (Bandung Barat).
Dalam pernyataannya, dr. Ryan memaparkan bahwa Labkes Jabar kini menyandang tiga sertifikasi ISO: 17025, 17043, dan 15189, yang mengukuhkannya sebagai laboratorium rujukan bertaraf internasional. Pencapaian ini, tentu, patut diapresiasi. Namun pertanyaannya: sejauh mana pengakuan itu berdampak nyata terhadap layanan langsung ke masyarakat, khususnya di wilayah yang selama ini tertinggal dalam akses kesehatan dasar?
Pengakuan internasional kadang terlalu sering digunakan sebagai legitimasi institusional, padahal di level pelayanan publik, masalah klasik seperti keterbatasan SDM, kurangnya fasilitas, dan distribusi alat medis belum sepenuhnya terselesaikan. Hal ini menjadi catatan penting jika Labkes Jabar benar-benar ingin menjangkau masyarakat hingga ke akar rumput.
Bus laboratorium keliling yang diluncurkan sejatinya merupakan kendaraan bekas layanan PCR Covid-19 yang kini dialihfungsikan untuk pemeriksaan hematologi darah, lemak darah, hingga parameter jantung. Upaya ini jelas inovatif, terutama dalam konteks program “Abdi Nagri Nganjang Ka Warga” yang diusung Gubernur Jabar, Dedi Mulyadi.
Namun, keberhasilan layanan semacam ini sangat tergantung pada keberlanjutan anggaran, integrasi sistem informasi, serta kesiapan personel lapangan. Dalam paparannya, dr. Ryan menyebutkan bahwa hasil pemeriksaan dapat keluar maksimal tiga jam dan terhubung langsung dengan sistem Laboratory Information System (LIS) milik Pemprov.
Gratis untuk masyarakat memang menggembirakan, tetapi seberapa lama layanan ini dapat dipertahankan jika “hibah” dan bantuan anggaran pusat berhenti mengalir? Jangan sampai inovasi ini hanya menjadi simbol pencitraan politik yang tidak berkelanjutan di lapangan.
Masih dalam semangat transparansi, dr. Ryan mengakui bahwa permintaan layanan laboratorium meningkat tiga kali lipat pasca-pandemi. Ini mencerminkan naiknya kesadaran masyarakat, tapi juga menunjukkan bahwa kapasitas laboratorium publik kini tengah kewalahan.
Kebutuhan akan pemeriksaan air, udara, dan makanan sebagai bagian dari pengujian lingkungan juga meningkat, tetapi pertanyaannya: apakah Labkes Jabar memiliki jaringan dan perangkat analitik yang cukup luas untuk memverifikasi kualitas lingkungan secara menyeluruh di seluruh Jabar?
Tak dapat dimungkiri, pemeriksaan laboratorium bukan sekadar soal alat atau kendaraan, tetapi juga soal sistem logistik, pendidikan kesehatan, dan partisipasi masyarakat. Dan hingga kini, wilayah pelosok di Jawa Barat masih banyak yang belum terlayani secara memadai.
Perayaan HUT ke-55 Labkes Jabar juga diramaikan dengan rangkaian acara seperti bakti sosial, donor darah, webinar, dan pemeriksaan gratis. Namun, di balik euforia seremonial, ada pekerjaan rumah besar bagi institusi ini — memastikan bahwa seluruh warga, dari perkotaan hingga pelosok, dapat mengakses layanan kesehatan yang setara dan bermutu.
Sebagai penutup, dr. Ryan menyampaikan imbauan penting:
“Jangan ragu untuk melakukan pemeriksaan laboratorium secara rutin dan berkala. Kesehatan adalah investasi utama agar kualitas hidup tetap optimal. Dengan pemeriksaan sederhana namun rutin, kita dapat mencegah penyakit sejak dini.”
Sebuah pesan yang benar, tetapi juga menjadi pengingat bahwa negara tidak bisa terus menggantungkan kesehatan publik pada ajakan individual. Yang dibutuhkan adalah komitmen struktural dan keberanian politik untuk membangun sistem kesehatan yang adil, terjangkau, dan berjangka panjang.