Oleh: R. Wempy Syamkarya, SH., MM.
Pengamat Kebijakan Publik dan Politik
Porosmedia.com – Kota Bandung sedang berada pada fase penting yang menentukan arah tata kelola pemerintahannya. Dalam satu tahun terakhir, kepemimpinan daerah tampak gagap mengelola sumber daya manusia birokrasi. Banyak jabatan strategis yang dibiarkan dipimpin oleh pelaksana tugas (Plt), sementara stabilitas organisasi bergantung pada figur yang semestinya hadir penuh, bukan sekadar mengisi daftar hadir kekuasaan.
Kondisi ini bukan sekadar kelemahan teknis birokrasi—melainkan gejala kepemimpinan yang kehilangan fokus pada amanah publik. Ketika masalah-masalah mendasar seperti sampah, banjir, penataan ruang, hingga konflik sosial terus berlangsung, sebagian pejabat justru terlihat lebih sibuk mempertahankan posisi daripada memastikan kota tetap berjalan secara tertib dan efektif.
Bandung tidak kekurangan orang cerdas. Yang kurang adalah pejabat yang memiliki keberanian moral untuk jujur, hadir, dan bekerja tanpa agenda gelap di balik meja rapat.
Akar Masalah: Kepemimpinan yang Terjebak Mekanisme Politik
Berdasarkan pengamatan, terdapat beberapa faktor utama yang memperburuk kualitas kepemimpinan di Kota Bandung:
1. Proses Seleksi yang Tidak Transparan
Proses pengisian jabatan publik masih menyisakan ruang pertanyaan. Minimnya keterbukaan membuat publik sulit memastikan apakah pejabat terpilih benar-benar orang yang paling tepat secara kompetensi dan integritas.
2. Politik Pragmatis Menggeser Profesionalisme
Intervensi politik yang tidak produktif kerap menjadikan jabatan publik sebagai alat transaksi, bukan ruang pengabdian. Loyalitas personal kadang diprioritaskan lebih tinggi daripada kemampuan teknis.
3. Lemahnya Pengawasan dan Akuntabilitas
Pengawasan internal yang tidak konsisten membuat sejumlah penyimpangan dalam pengelolaan pemerintahan luput dari koreksi awal. Akibatnya, masalah kecil berkembang menjadi persoalan serius dan mencoreng kinerja lembaga.
Upaya Perbaikan Ada, Tapi Belum Menjawab Masalah Utama
Sejumlah kebijakan sebenarnya mulai dijalankan untuk memperbaiki kondisi:
Seleksi terbuka untuk sebagian jabatan penting.
Penguatan pengawasan internal melalui mekanisme audit dan klarifikasi rutin.
Kerja sama dengan lembaga independen, baik dalam penilaian kinerja maupun pendampingan sistem tata kelola.
Namun upaya ini belum menyentuh titik krusial: komitmen politik dan moral para pemimpin daerah. Tanpa perubahan di level ini, kebijakan teknis hanya akan menjadi kosmetik birokrasi.
Degradasi Etika Publik: Masalah Struktural dan Kultural
Kebijakan publik tidak pernah berdiri sendiri; ia lahir dari budaya sosial. Krisis etika dan integritas di Bandung tidak dapat dilepaskan dari beberapa faktor:
1. Pendidikan moral dan karakter yang makin terpinggirkan.
2. Budaya konsumtif yang menempatkan kepentingan pribadi di atas kepentingan publik.
3. Kurangnya pengawasan yang memberi ruang berkembangnya penyimpangan.
4. Praktik korupsi dan nepotisme yang merusak kepercayaan publik terhadap institusi.
5. Kesadaran sosial yang rendah dan mudah digeser oleh isu sesaat.
6. Dominasi media sosial yang membuat popularitas seolah lebih penting daripada akurasi, etika, dan kinerja.
Persoalan ini tidak bisa didelegasikan hanya kepada pemerintah. Solusinya memerlukan gerakan bersama antara masyarakat, lembaga publik, dan seluruh pemangku kepentingan.
Ketika Kepala Daerah Hanya Menjadi Simbol
Peran Wali Kota dan Wakil Wali Kota pada dasarnya sangat vital. Mereka menjadi:
Pemimpin eksekutif
Pengambil keputusan
Pengawas pelaksanaan kebijakan
Representatif kota
Komunikator publik
Namun bila fungsi ini tidak dijalankan secara penuh, maka akan muncul: Kepemimpinan yang lemah dan tidak terarah, Minimnya akuntabilitas, Transparansi yang terganggu, Birokrasi yang berjalan tanpa komando yang jelas
Kepemimpinan bukan soal jabatan, tetapi kapasitas untuk menjamin keberlangsungan urusan publik.
Bandung Perlu Kepemimpinan yang Autentik, Bukan Sekadar Formalitas
Bandung membutuhkan pemimpin yang tidak hanya hadir dalam seremoni, tetapi hadir dalam kerja nyata. Butuh pemimpin yang tidak sibuk menegosiasikan posisinya, tetapi menegakkan integritasnya. Butuh pemimpin yang menjadikan jabatan sebagai amanah, bukan komoditas lelang kekuasaan.
Perbaikan tidak akan lahir dari retorika, tetapi dari keberanian melakukan reformasi:
transparansi dalam seleksi pejabat, akuntabilitas tanpa kompromi, serta integritas yang menjadi landasan moral birokrasi.
Selama akar persoalan ini tidak disentuh, Kota Bandung akan terus berada dalam lingkaran persoalan yang sama—berputar tanpa kemajuan.







