Krisis Bank Bandung/BPR: Apa Yang Dilakukan Walikota?

Avatar photo

Porosmedia.com – Krisis yang menimpa Bank Bandung/BPR kini menjadi perhatian serius, bukan hanya bagi nasabah dan karyawan, tetapi juga bagi publik yang mempertanyakan di mana peran dan tanggung jawab pemerintah daerah — khususnya Wali Kota Bandung.

Informasi yang beredar menyebutkan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah mempertimbangkan penurunan status Bank Bandung/BPR menjadi koperasi simpan pinjam. Jika benar demikian, hal ini merupakan sinyal kuat bahwa kondisi keuangan dan manajemen bank daerah tersebut telah mencapai titik rawan.

Potret Krisis: Antara Gagal Kelola dan Lemahnya Pengawasan

Beberapa penyebab utama kemerosotan ini bisa ditelusuri dari akar yang cukup klasik namun berulang dalam dunia BPR, antara lain:

Kinerja keuangan memburuk — indikasi likuiditas menipis, kredit macet meningkat, serta pengelolaan risiko yang lemah.

Manajemen tidak profesional — keputusan strategis diambil tanpa analisis matang, bahkan kadang diwarnai konflik kepentingan.

Pengawasan minim — lemahnya kontrol internal dan eksternal membuka ruang bagi praktik-praktik tidak sehat dalam tata kelola bank.

Kombinasi tiga faktor tersebut cukup untuk menjelaskan mengapa BPR-BPR di berbagai daerah mulai tumbang. Data CNBC Indonesia (2024–2025) mencatat setidaknya 22 hingga 25 BPR ditutup oleh OJK, termasuk PT BPR Dwicahaya Nusaperkasa yang izinnya dicabut pada 24 Juli 2025.

Baca juga:  CFD Perdana di Margonda Disambut Meriah, Anggota DPRD Depok Hamzah Apresiasi Kebijakan Pemkot Depok

Fenomena ini seharusnya menjadi alarm bagi semua kepala daerah — termasuk Wali Kota Bandung — karena stabilitas lembaga keuangan lokal berpengaruh langsung terhadap denyut ekonomi masyarakat kecil.

Mengapa Wali Kota Seakan Diam?

Minimnya respons atau sikap terbuka dari Wali Kota terhadap persoalan Bank Bandung/BPR menimbulkan tanda tanya publik. Apakah ini karena prioritas kebijakan yang berbeda, minimnya pemahaman terhadap persoalan keuangan daerah, atau sekadar keterbatasan sumber daya dan fokus birokrasi?

Namun, dalam tata kelola pemerintahan modern, alasan-alasan tersebut tidak cukup membebaskan seorang kepala daerah dari tanggung jawab moral dan politiknya. Wali Kota Bandung seharusnya tidak bersikap pasif di tengah krisis lembaga keuangan yang berpotensi mengguncang kepercayaan publik terhadap tata kelola ekonomi kota.

Langkah yang Seharusnya Diambil Pemimpin Daerah

Sebagai kepala daerah, Wali Kota memiliki posisi strategis untuk menggerakkan sinergi lintas lembaga, termasuk dengan OJK dan pelaku industri keuangan lokal. Beberapa langkah konkret yang seharusnya dilakukan:

1. Memantau langsung kondisi Bank Bandung/BPR, termasuk melakukan audit independen terhadap keuangan dan manajemennya.

Baca juga:  FPN Minta Presiden Prabowo Tetap Tegas Melawan Zionisme

2. Mengganti manajemen lama dengan tim profesional yang memiliki integritas dan rekam jejak baik.

3. Melakukan injeksi modal bersama investor daerah atau menggandeng mitra strategis untuk memperkuat likuiditas.

4. Menjalin komunikasi intensif dengan OJK dan stakeholder keuangan agar solusi tidak bersifat tambal sulam.

5. Menyusun kebijakan pemulihan ekonomi daerah yang berpihak pada masyarakat kecil, bukan hanya kepentingan elit birokrasi.

Jika Wali Kota tetap diam dan tidak menunjukkan langkah konkret, maka kepercayaan publik bisa terkikis dan krisis keuangan daerah dapat menjalar lebih luas.

Argumen Dua Sisi: Membela atau Mengkritik Wali Kota

Dari sisi positif, mungkin Wali Kota sedang menunggu hasil evaluasi resmi OJK sebelum mengambil langkah. Bisa juga ia menganggap Bank Bandung/BPR masih mampu menyelamatkan diri melalui mekanisme internal.

Namun dari sisi negatif, sikap diam di tengah krisis dapat dianggap sebagai bentuk kelalaian tanggung jawab publik. Ketidakhadiran kepemimpinan dalam masa genting justru memperdalam ketidakpastian dan memukul moral karyawan serta nasabah.

Krisis Bukan Sekadar Angka, Tapi Kepercayaan

Baca juga:  JBN Buka Puasa Bersama EIGER, Bahas Pembukaan Toko EIGER di Malaysia

Penurunan status Bank Bandung/BPR menjadi koperasi simpan pinjam bukan hanya soal administratif, tapi soal hilangnya kepercayaan publik terhadap lembaga keuangan daerah. Dampaknya bisa berantai: dari turunnya nilai ekonomi masyarakat, meningkatnya pengangguran akibat PHK, hingga terganggunya roda ekonomi UMKM yang selama ini bergantung pada BPR.

Oleh karena itu, tanggung jawab moral dan politik seorang Wali Kota tidak berhenti pada urusan infrastruktur dan seremoni, tapi juga menyentuh sektor keuangan daerah yang menopang kehidupan rakyat kecil.

Kepemimpinan Diuji di Tengah Krisis

Krisis Bank Bandung/BPR bukan sekadar ujian bagi lembaga keuangan, tapi ujian bagi kepemimpinan Wali Kota Bandung.
Apakah ia akan turun tangan dan menata ulang kepercayaan publik, atau justru membiarkan masalah ini tenggelam dalam diam birokrasi?

Publik menunggu langkah nyata, bukan pernyataan normatif.
Krisis keuangan lokal hanya bisa diselesaikan jika pemerintah daerah, OJK, dan manajemen bank duduk satu meja — bukan saling menunggu keajaiban.

 

R. Wempy Syamkarya, SH., M.M.
Pengamat Kebijakan Publik dan Politik