Korupsi Dana Pramuka: Ketika Moral Pembinaan Generasi Dihancurkan oleh Elit yang Harusnya Menjadi Teladan

Avatar photo

Porosmedia.com – Gerakan Pramuka adalah simbol pendidikan karakter, disiplin, dan integritas. Namun, ironi yang mencengangkan kini kembali terjadi di Kota Bandung. Empat orang ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Barat dalam kasus korupsi dana hibah kepada Kwartir Cabang (Kwarcab) Gerakan Pramuka Kota Bandung, termasuk nama-nama besar yang seharusnya menjadi panutan publik: Eddy Marwoto (Kadispora aktif), Yossi Irianto (mantan Sekda Kota Bandung), Dodi Ridwansyah (mantan Kadispora), dan Deni Nurhadiana Hadiman (mantan Ketua Harian Kwarcab Pramuka Bandung).

Kasus ini bukan sekadar soal penyalahgunaan anggaran, melainkan pengkhianatan moral terhadap generasi muda. Dana hibah yang seharusnya digunakan untuk mendidik, membina, dan memberdayakan para anggota Pramuka malah dijadikan bancakan para elit birokrasi dan pengurus organisasi.

Dana hibah adalah bentuk kepercayaan publik. Ketika dana ini ditujukan kepada organisasi yang mengemban misi pendidikan moral dan pembentukan karakter, maka integritas pengelolaannya seharusnya absolut.

Namun realitasnya: kasus-kasus seperti ini menunjukkan bahwa korupsi sudah merayap ke tempat-tempat yang paling suci secara moral—mulai dari rumah ibadah, sekolah, hingga kini organisasi kepanduan.

Baca juga:  Whoosh Masih Berdarah-darah? Lonjakan Penumpang Tak Menutup Beban Utang Raksasa

Jika Pramuka saja tidak luput dari ulah para pemangku kebijakan yang rakus, lalu di mana lagi anak-anak bangsa bisa belajar tentang nilai kejujuran, gotong royong, dan nasionalisme?

Kasus ini juga membuka tabir bahwa Pramuka telah diseret terlalu dalam ke ruang politik kekuasaan dan formalitas birokratis. Banyak pengurus yang dipilih bukan karena rekam jejak mendidik, melainkan karena kedekatan politis dan jabatan strategis.

Gerakan Pramuka yang seharusnya independen dan progresif berubah menjadi stempel kehormatan bagi para pejabat, bukan sebagai rumah pembentukan karakter sejati.

Padahal, esensi gerakan ini adalah mendidik anak-anak dan remaja agar menjadi warga negara yang jujur, mandiri, dan bertanggung jawab. Jika para pengurus utamanya justru terlibat korupsi, maka ini adalah kebangkrutan moral yang tak bisa ditutupi dengan slogan atau mars Pramuka yang dikumandangkan di panggung upacara.

Keterlibatan mantan Sekda dan dua eks Kadispora dalam kasus ini menunjukkan bahwa penyelewengan ini bukan kesalahan satu-dua orang. Ini adalah pola lama dalam sistem birokrasi: dana hibah digunakan sebagai alat konsolidasi kekuasaan, upeti politik, atau sekadar ladang pemanfaatan kelembagaan publik demi keuntungan pribadi.

Baca juga:  Asah Keterampilan Senjata Api di Bali: PERIKHSA Tegaskan Pentingnya Keamanan dan Profesionalisme

Pemerintah Kota Bandung harus bertanggung jawab secara struktural. Ini bukan hanya soal siapa yang menandatangani proposal atau yang menerima uang. Ini adalah soal bagaimana sistem pengawasan, audit, dan transparansi dijalankan selama bertahun-tahun.

Jika Pemkot tidak segera melakukan pembersihan internal dan pembenahan mekanisme hibah publik, maka kasus serupa hanya menunggu waktu untuk kembali mencuat dengan wajah berbeda.

Kasus ini harus menjadi peringatan keras bagi seluruh cabang Pramuka di Indonesia. Pramuka bukan lembaga formalitas pelengkap apel atau parade seremonial. Ia adalah benteng terakhir pendidikan karakter nonformal anak-anak bangsa.

Jika organisasi seperti Pramuka saja tidak bisa menjamin integritas di dalam tubuhnya, maka siapa lagi yang bisa kita percaya untuk membentuk watak anak muda Indonesia?

Evaluasi struktural organisasi Kwarcab dan Kwarda agar tidak menjadi tempat numpang kekuasaan;

Gerakan revitalisasi Pramuka yang dikembalikan kepada semangat awalnya: pendidikan karakter, bukan proyek anggaran.

Korupsi dana Pramuka bukan hanya perampokan uang negara. Ia adalah perampokan masa depan generasi muda Indonesia.

Baca juga:  Tiga Alasan, Codex Gigas yang terkenal sebagai Alkitab Iblis