Ketua Umum DPP MPAI Hadiri Undangan Khusus Gubernur Kalimantan Barat: Gerakan “Satu Anak Satu Pohon” di Entikong Jadi Simbol Restorasi Moral dan Ekologis Bangsa

Avatar photo

Porosmedia.com, Entikong, Kabupaten Sanggau – Gerakan menanam pohon kembali dijadikan alat ukur moral bangsa. Di tengah krisis ekologis yang terus meningkat dan perilaku eksploitatif terhadap alam yang seolah dilegalkan atas nama pembangunan, langkah Gubernur Kalimantan Barat Ria Norsan mengundang para pegiat lingkungan dan tokoh nasional dalam kegiatan “Satu Anak Satu Pohon” di wilayah perbatasan Entikong, 28 Oktober 2025, patut diapresiasi sekaligus dicermati.

Kegiatan ini bukan sekadar seremoni tahunan dalam rangka Hari Sumpah Pemuda, melainkan pesan strategis bahwa nasionalisme abad ke-21 tidak lagi cukup hanya diukur dari retorika politik dan upacara bendera, tetapi dari sejauh mana bangsa ini menjaga tanah air secara nyata—melindungi hutan, air, dan udara yang menjadi sumber kehidupan bersama.

Salah satu tamu undangan khusus dalam kegiatan ini adalah Ngadi Utomo, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Masyarakat Penjaga Alam Indonesia (DPP MPAI). Dalam sambutannya, Ngadi menegaskan bahwa pelestarian alam bukan hanya isu lingkungan, melainkan urusan eksistensial bangsa.

“Menjaga alam berarti menjaga kehidupan manusia itu sendiri. Itulah semangat MPAI yang kami bawa ke mana pun — dari Sabang sampai Merauke,” ujar Ngadi.

Baca juga:  Sengketa Pilpres : Kuasa Paslon 02 Hanya Bertahan Dengan Teks Dan Pasal Hukum Sebagai Mayat

Kehadiran Ngadi tidak hanya mewakili aktivis hijau, tetapi juga sebagai Ketua Umum Jurnalis Media Indonesia (JMI), ia membawa perspektif bahwa media harus menjadi corong penyadaran ekologis, bukan sekadar arena pencitraan. Ia menyoroti bahwa di banyak daerah, gerakan penanaman pohon sering berhenti di papan nama proyek, bukan di akar yang tumbuh dan hidup di tanah.

“Gerakan ini jangan berhenti di foto seremonial. Pemerintah daerah harus berani memastikan setiap pohon yang ditanam benar-benar tumbuh. Di situlah integritas kebijakan lingkungan diuji,” tegasnya.

Program “Satu Anak Satu Pohon” sendiri menjadi simbol penting karena menempatkan generasi muda sebagai subjek perubahan, bukan sekadar peserta seremonial. Di tengah generasi digital yang lebih sering berinteraksi dengan layar ketimbang tanah, kegiatan ini menjadi momentum untuk menanamkan kembali kesadaran ekologis sejak dini.

Selain aksi penanaman pohon, kegiatan tersebut juga diisi dialog kebangsaan lintas generasi yang membahas peran masyarakat perbatasan dalam menjaga kelestarian lingkungan dan identitas nasional. Dialog ini menjadi ajang terbuka untuk bertukar gagasan, menyuarakan kritik, dan membangun komitmen bersama bahwa cinta tanah air sejati lahir dari kesadaran menjaga bumi.

Baca juga:  Kondisi IT Outsourcing di Indonesia

Menariknya, kegiatan ini juga dihadiri delegasi dari Malaysia, menandakan bahwa diplomasi lingkungan kini menjadi jembatan baru dalam hubungan antarnegara. Entikong bukan hanya tapal batas politik, tetapi juga batas moral peradaban: di sinilah Indonesia diuji apakah mampu menjaga hutan dan airnya sebagai amanah, bukan komoditas.

Langkah Gubernur Ria Norsan yang menggandeng MPAI dan berbagai organisasi lingkungan dinilai sebagai sinyal positif bahwa pemerintah daerah mulai memahami pentingnya sinergi moral, ekologis, dan kebijakan publik dalam menghadapi ancaman perubahan iklim. Namun demikian, publik tetap perlu mengawasi agar gerakan seperti ini tidak berhenti sebagai seremoni tahunan tanpa tindak lanjut struktural di lapangan.

Gerakan “Satu Anak Satu Pohon” di Entikong menjadi contoh bahwa nasionalisme ekologis kini bukan pilihan, melainkan keharusan. Sebab di tengah panas bumi yang kian menyengat dan udara yang kian kotor, satu pohon bukan hanya simbol — ia adalah perlawanan kecil terhadap kehancuran besar.