Porosmedia.com, Kota Bandung – Hasil acara “Debat IV Cawapres 2024 yang berlangsung di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Ahad, 21 Januari 2024 memunculkan berbagai tanggapan dari elemen masyarakat. Salah satunya datang dari Ketua “Dukung Ganjar Presiden ke-8 (DGP8) Jawa Barat” Eka Santosa.
Melalui tayangan podcast yang dilaksanakan di Media Center Ganjar-Mahfud, Jl. Gatot Soebroto No. 319, Bandung, Senin (22/1/24), Eka menanggapinya dengan apik.
Menurutnya, debat cawapres tersebut berlangsung seru dengan tema yang sangat menarik dengan hal-hal yang substansial.
“Tema yang diangkat cukup menarik yakni tentang lingkungan yang mencakup reforma agraria, masyarakat adat, sumber daya alam, dan desa ya.
Pembahasannya dari para calon pun cukup substansial,” ujar Eka yang juga aktif sebagai Dewan Pakar Forum Pengelola Daerah Aliran Sungai (DAS) Jabar.
Namun sayang, kata Eka Santosa, masih ada beberapa kekurangan dalam acara tersebut. Seperti adanya kelompok pendukung yang bersorak-sorak layaknya suporter pertandingan bola.
“Saya selaku anak bangsa cukup malu melihat sejumlah pendukung yang teriak-teriak yang tidak ada maknanya. Apalagi debat ini dilihat seluruh penduduk Indonesia, bahkan disoroti media luar negeri. Ya harusnya sewajarnya, kalau ada yang benar kita tepuk tangan ya gapapa tanpa harus teriak-teriak,” tuturnya.
Selain itu, Eka juga menyoroti masih adanya tampilan gestur dari salah satu calon wapres yang tidak kena pada substansi debat itu sendiri.
“Seperti masalah jebak-menjebak, dan terkait etika yang kurang menghormati calon wapres lain. Memang belum tentu seperti itu aslinya, namun hal tersebut terlihat pada tampilan kemarin yang bukan substansinya. Hingga menjadi topik bahasan di medsos,” terang Eka.
Masalah Pertanahan Hal yang pertama Eka Santosa tanggapi dari substansi acara Debat Cawapres IV, yaitu terkait permasalahan pertanahan.
Ia menyampaikan masih banyak sekali permasalahan tanah yang belum teratasi dengan baik. “Permasalahan tanah ini cukup liar dan kalau dibiarkan akan menjadi bom waktu. Hampir setiap hari ada pengaduan soal pertanahan. Tadi malam saat acara debat saya menangkap dan saya setuju memang perlu ada institusi khusus di bawah presiden seperti KPK yang mengurus masalah korupsi,” papar Eka.
Masih kata Eka, sebetulnya titik tolak masalah pertanahan ini adalah UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960. Reforma agraria itu tidak diartikan sempit hanya soal sertifikasi atau membagi lahan.
“Yang dimaksud reforma pengertian di situ yakni bagaimana mengimplementasikan tentang hak kepemilikan tanah. Sebab dalam lampiran UU Pokok Agraria itu ada kriteria dan pembatasan. Hingga tidak terjadi seperti sekarang ada individu yang memiliki ribuan hektar tanah,” jelasnya.
Jadi menurutnya, semangat reforma agraria bukan hanya sertifikasi lahan. Tapi sebuah regulasi atau kebijakan yang merupakan penjabaran dari UU Pokok Agraria. Terutama dalam hak kepemilikan tanah, demi keadilan dan kesejahteraan.
Pembangunan dan Lingkungan
Topik debat yang disoroti Eka Santosa berikutny, yakni berkaitan dengan pembangunan dan lingkungan. Ia mengatakan, semua regulasi pembangunan harus mempertimbangkan aspek lingkungan.
“Aspek lingkungan harus diperhatikan dan harus kuat dalam semua lini. Jadi dalam debat semalam itu belum pada substansi yang mendasar tapi semangatnya ada.
Ini ada erat hubungannya dan tidak bisa dipisahkan soal pertanahan, lingkungan, dan masyarakat adat,” ungkap Eka yang juga dikenal sebagai tokoh peduli lingkungan di Jabar.
Berkaitan dengan lingkungan, Eka juga mengatakan, nenek moyang Indonesia sudah lebih dulu memperkenalkan dan mewariskan nilai peduli lingkungan.
“Kita harus kembali belajar, saya harus kritik kenapa sih kita mesti bangga dengan istilah Go Green.
Padahal nenek moyang kita sudah lebih dulu Go Green dan lebih dulu memperkenalkan dan mewariskan sebuah nilai. Misalnya dalam pandangan masyarakat adat Sunda ada istilah ‘bapa langit, indung bumi’. Artinya kita menghormati bumi, langit dan daratan seperti menghormati orang tua, secara sopan, beradab, dan bijak,” sebutnya.
“Makanya tadi malam, Mahfud MD sudah benar, dia menyentil walaupun tidak detail. Kalau di Sunda katanya ada Tri Tangtu, ya, Ratu, Rama, Resi. Dalam persepsi masyarakat adat esensinya seperti yang diungkapkan Cak Imin, adalah keseimbangan. Ini sudah betul, karena bicara lingkungan adalah keseimbangan,” papar Eka.
Ia juga menuturkan, keseimbangan tersebut sudah ada pada pandangan masyarakat adat Sunda.
“Yaitu ada keseimbangan antara makhluk eling atau berakal yakni manusia. Makhluk nyaring atau hidup itu hewan. Lalu makhluk cicing yaitu tumbuhan. Nah ketiga komponen ini harus seimbang, kalau ada satu yang rusak pasti ada masalah seperti bencana alam,” tuturnya.
Ketahanan Pangan
Lebih lanjut Eka mengungkapkan, ada satu pepatah Sunda yang menyebutkan “lamun hayang kejo kudu hejo”. Artinya jika ingin makmur dengan makanan, alamnya harus hijau atau subur.
“Jadi logika dari mana dengan alasan ketahanan pangan harus membabat hutan, ini tidak masuk di akal dan ini sebuah pengkhianatan terhadap kultur. Jadi hutan ini harus dijaga dan dipelihara sebab itu adalah wajah bumi karena tempat berlindung,” kata Eka.
Intinya, lanjut Eka, perlu ada kebijakan yang mengatur soal reforma agraria, alih fungsi hutan agar tidak terjadi kerusakan lingkungan, terutama hutan. Seperti akibat alih fungsi lahan menjadi pertambangan yang berdampak buruk bagi lingkungan.
Khususnya pertambangan liar atau ilegal. “Malah ada yang aneh juga dari debat semalam, ada salah satu calon wapres yang mengatakan pertambangan liar akan dicabut izinnya. Ini kan aneh, masa yang ilegal dicabut izinnya, kan sudah pasti yang ilegal itu tidak ada izinnya,” ucap Eka seraya tertawa.
Masyarakat Adat
Untuk bahasan Debat Cawapres IV terkait masyarakat adat, menurut Eka menjadi topik yang menarik juga untuk diperhatikan. Karena ia menilai masyarakat adat ini mempunyai peranan penting dalam membangun dan menjadi kekayaan negara Indonesia.
“Bahwa kita sebagai bangsa Indonesia itu berangkat dari peradaban budaya. Makanya dulu ada perjuangan Diponegoro, Cut Nyak Dien. Baru 1908 ada Bung Tomo.
Lalu 1928 mengikrarkan diri lewat Sumpah Pemuda yang saat itu pun tidak ada istilah partai A atau B,” ujar Eka yang juga didapuk sebagai Duta Sawala Baresan Olot Masyarakat Adat (BOMA) Jabar.
“Tapi saat itu kita menyebut ‘Jong’ seperti Jong Java, Jong Celebes, Jong Sunda, Jong Ambon, dan lainnya. Dan istilah Jong itu merupakan bagian dari adat istiadat, yang konsisten dijaga masyarakat adat. Oleh karena itu, menurut saya masyarakat adat ini adalah akar budaya bangsa kita,” tambahnya.
Eka pun berasumsi kalau masyarakat adat ini lenyap, maka Indonesia akan hilang pula. “Indonesia itu kan terdiri dari suku-suku dan adat-adat tadi. Kalau adat-adat ini hilang, Indonesia pun akan hilang. Itulah yang disebut Soekarno zamrud di khatulistiwa. Jadi masyarakat adat ini sangat penting,” ucapnya.
Masalah Sampah
Sementara itu, Eka juga menyayangkan dalam Debat Cawapres IV, masalah sampah tidak dimasukkan dalam pembahasan.
“Seharusnya masalah sampah dimasukkan dalam tema karena bagian penting. Tidak mungkin berbicara lingkungan tanpa mengulas soal sampah. Padahal sampah ini sudah menjadi permasalahan yang berdampak pada lingkungan. Bahkan manusia sejak lahir pun sudah menghasilkan sampah,” tegas Eka.
Menurutnya, permasalahan sampah ini harus menjadi perhatian semua pihak. Terutama pemerintah dan kemudian dari pihak akademisi.
“Solusinya, sudahlah hentikan bermain-main tentang penanganan sampah. Soal sampah ini harus menjadi prioritas. Dari mulai pemilahan di masyarakat harus dilanjut di TPA dengan dipilah pula jangan disatukan kembali,” tutur dia.
Kemudian, sambung Eka, kalau melakukan studi banding ke luar negeri jangan membicarakan soal teknologi penanganannya. Karena belum tentu karakter sampah di Indonesia sama dengan di negara lain. Justru yang harus dibicarakan atau dipelajari adalah bagaimana negara itu melayani rakyat tentang sampah.
“Jadi konsep saya sampah harus diselesaikan dulu. Jangan saling menyalahkan, mari kita selesaikan bersama-sama,” imbaunya.*