Ketika Suara Pedagang Diabaikan: Pasar Ciroyom, APPSINDO, dan Mandat yang Dikhianati

Avatar photo

Oleh: Wempy Syamkarya (Pengamat Kebijakan Publik dan Politik)

Porosmedia.com — Dalam demokrasi yang sehat, rakyat yang memilih adalah pemegang mandat tertinggi. Tapi di Kota Bandung, sinyal krisis perwakilan justru menguat di tengah riuh suara pedagang pasar yang diabaikan. Kasus terbaru terkait rencana revitalisasi Pasar Ciroyom dan polemik habisnya Hak Guna Pakai (HGP) beberapa pasar tradisional membuka borok lama: dialog antara rakyat dan penguasa tak pernah benar-benar setara.

Sejak 24 April 2025, DPD APPSINDO Kota Bandung telah resmi mengirimkan surat permohonan audiensi kepada Wali Kota dan Ketua DPRD Kota Bandung. Hingga hari ini, surat itu seolah menguap di udara. Tidak ada balasan resmi. Hanya disposisi berantai yang berujung pada kebisuan. Bahkan setelah ketua APPSINDO Entoer Abdul Rosyad dan sekretaris Tatang Mustofa, S.Ip mencoba menghubungi langsung lewat pesan WhatsApp pun tak membuahkan kejelasan. Ada apa dengan Pemerintah Kota Bandung dan DPRD? Apakah rakyat tak pantas lagi bertemu wakilnya sendiri?

Rakyat bukan meminta uang atau belas kasih. Mereka hanya ingin satu hal: penjelasan. Tentang apa yang akan terjadi dengan pasar-pasar tempat mereka mencari nafkah. Tentang angka harga kios dan lapak hasil revitalisasi yang tiba-tiba dirilis oleh Perumda Pasar Juara: Rp22 juta hingga Rp28 juta per meter persegi. Sebuah angka yang bukan hanya tidak rasional, tapi juga merampas kesempatan hidup para pedagang kecil.

Baca juga:  Kabel Semrawut Cemari Bandung Caang Baranang: Saatnya Tata Kota Naik Kelas

Menurut informasi dari pedagang yang juga pengurus APPSINDO, rencana ini sudah mendapat restu dari Wali Kota dan DPRD Kota Bandung. Jika benar, mengapa tidak ada sosialisasi? Mengapa tidak ada ruang musyawarah? Apakah revitalisasi hanya menjadi nama baru dari komersialisasi ruang rakyat?

APPSINDO sendiri menegaskan bahwa mereka bukan provokator. Mereka hanya ingin menengahi, mempertemukan suara rakyat dengan pengambil kebijakan. Tapi ketika pintu pertemuan ditutup, dan aspirasi tak diberi tempat, maka keterwakilan berubah menjadi pengkhianatan. Wakil rakyat yang menolak bertemu rakyat, tak layak lagi disebut wakil.

Bandung saat ini berada di titik kritis. Jika masalah ini dibiarkan, maka gejolak Ciroyom bukanlah akhir—hanya permulaan. Pasar Cicaheum telah bersuara. Cicadas, Haurgeulis, dan lainnya siap menyusul. Gelombang protes yang digerakkan dari bawah, oleh rakyat yang lelah dibungkam.

Pemerintah Kota Bandung dan DPRD harus segera merespons, bukan dengan dalih birokrasi, tapi dengan tindakan nyata. Undang pedagang, buka data, diskusikan angka, dan cabut kebijakan sepihak yang mencekik. Sebab pasar bukan sekadar ruang jual beli—ia adalah denyut ekonomi rakyat, ruang budaya, dan simbol perlawanan terhadap dominasi kapital atas ruang publik.

Baca juga:  Sidak The Jarrdin Harus Jadi Titik Awal Penertiban Apartemen di Kota Bandung

Jika pemimpin tak mampu mendengar rakyat yang memilihnya, maka sejarah akan mencatat mereka bukan sebagai negarawan, tapi sebagai penguasa yang lupa daratan.