Porosmedia.com — Pleret yang telah jatuh ke tangan Trunojoyo membuat Amangkurat I dan Adipati Anom melarikan diri. Dalam pelarian ini, Amangkurat I wafat di Tegal Wangi atau Tegal Arum, Jawa Tengah, pada 1677 M. Sebelum wafat, ia berwasiat kepada Adipati Anom untuk meminta bantuan VOC (Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia, 1981).
Usai Amangkurat I wafat, Adipati Anom naik takhta sebagai penguasa Mataram Islam bergelar Amangkurat II. Tak punya pasukan, tak diakui oleh sebagian besar bangsawan Mataram Islam, dan tak banyak memiliki kekayaan, Amangkurat II dihadapkan pada satu-satunya jalan keluar, menjalin kesepakatan dengan VOC di Japara (sekarang Jepara).
Selama masa pemerintahan Sultan Agung hingga Amangkurat I, wilayah administrasi Mataram Islam dibagi menjadi dua, yakni tlatah pesisir kulon (bagian barat) dan tlatah pesisir wetan (bagian timur). Seturut buku Sejarah Nasional Indonesia III (1993), Jepara merupakan ibukota dari tlatah pesisir wetan (bagian timur).
Amangkurat II menjalin kesepakatan dengan salah satu wakil dari VOC, Cornelis Speelman dengan tujuan memulihkan kekuasaan monarkinya. Kesepakatan dengan VOC inilah yang dikenal dengan nama Perjanjian Jepara. Berdasarkan catatan M.C. Ricklefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Perjanjian Jepara disepakati oleh Amangkurat II dan VOC di Loji Belanda, Kabupaten Jepara, pada 1677 M.
Perjanjian Jepara 1677 M merupakan identitas dari serangkaian upaya kesepakatan yang dilakukan oleh Amangkurat II dan VOC. Kesepakatan tersebut membentang sejak Februari 1677 M hingga Januari 1678. (Skripsi Farhatun Nazillah [2024] Dinamikan Perjanjian Jepara 1677 dan Dampaknya Terhadap Kehidupan Masyarakat Cirebon dan Priangan dalam J.E. Heeres, [1934] Corpus Diplomaticu Neerlando-Indicum Jilid II (1676-1691), Leiden: Koninklijk Intituut Voor Tal-, Land-En Volkenkunde [KITLV]: 91)
Isi dari Perjanjian Jepara membuat hegemoni Mataram Islam di Jawa mulai pudar. VOC mendapatkan konsesi atas tlatah pesisir kulon, seperti Cirebon dan Priangan.
Seturut catatan Mumuh Muhsin dalam Priangan Dalam Arus Dinamika Sejarah (2016), langkah awal VOC adalah menunjuk beberapa bupati di Priangan untuk mengamankan monopoli perdagangan, terutama rempah-rempah. Sementara itu, Cirebon sepenuhnya berada dalam pengaruh VOC agak belakangan, pasca konflik internal di Kesultanan Cirebon sekitar 1680-an.
Perjanjian Jepara juga memberikan konsesi kepada VOC untuk wilayah tlatah pesisir wetan, termasuk Semarang. Bahkan Amangkurat II menyerahkan wilayah antara sebelah barat Sungai Pamanukan hingga pesisir selatan. Secara umum, hegemoni Mataram Islam di hampir seluruh pesisir pantai utara dan selatan telah digadaikan kepada VOC.
Amangkurat II juga menjanjikan untuk memberi pendapatan atas semua pelabuhan di pantai utara Jawa. Selain konsesi wilayah pesisir, Amangkurat II mengakui yurisdiksi kekuasaan VOC atas semua orang non-Jawa yang tinggal di wilayahnya. (Pigeaud, Islamic State in Jawa 1500-1700 (1976: 77)
Perjanjian Jepara membuat tanah Jawa menjadi protektorat (tanah/negara yang berada di bawah perlindungan negara lain), terutama wilayah tlatah pesisir kulon dan wetan. VOC juga menerapkan sistem indirect rule (pemerintahan tak langsung) dengan mengangkat bupati-bupati boneka.
Di sisi pemerintahan, VOC turut mengatur kebijakan internal, baik di Kesultanan Cirebon maupun di Kartasura pada waktu kemudian. Suksesi kepemimpinan di kedua kerajaan ini sepenuhnya dikendalikan oleh VOC.
Imbal balik bagi Amangkurat II, VOC setuju membantu meredakan perlawanan Trunojoyo dan mengembalikan kekuasaan monarki Mataram Islam. Namun, ada syaratnya: seluruh biaya perang dan pemulihan kekuasaan ditanggung oleh Amangkurat II sebagai utang. Berdasarkan buku karya Budiono Herusatoto, Banyumas: Sejarah, Budaya, Bahasa, dan Watak (2008: 76), Perjanjian Jepara juga memberikan hak bagi VOC untuk menempatkan pasukan di ibukota Mataram Islam.
VOC memenuhi janjinya. Mereka berhasil menangkap dan menuntaskan perlawanan Trunojoyo pada 1679. Raden dari Madura itu dieksekusi mati oleh Amangkurat II pada 2 Januari 1680. Selain itu, VOC juga membantu Amangkurat II membangun kembali pusat pemerintahan Mataram Islam.
Pusat pemerintahan Mataram Islam dibangun kembali, tetapi bukan di Pleret, melainkan di Kartasura, Jawa Tengah. Sejak 11 September 1680, atau bertepatan dengan Rabu Pon, 27 Ruwah, Tahun Alip 1603 dalam penanggalan Jawa, Amangkurat II menempati Keraton Kartasura Hadiningrat.
Sesuai dengan isi Perjanjian Jepara, VOC berhak menempatkan pasukan di ibukota kerajaan. Sebuah garnisun dibangun di depan Keraton Kartasura tepat setahun setelah keraton ditempati Amangkurat II. VOC berdalih, penempatan garnisun semata-mata untuk melindungi Amangkurat II. Sejak saat itulah, mata militer VOC tak pernah luput mengawasi jalannya pemerintahan di Kartasura.
Perjanjian Jepara 1677 telah ditandatangani. VOC mulai mengebiri kekuasaan Mataram Islam. Tinggal menunggu masa tak kurang dari seabad untuk melihat Mataram Islam terbelah menjadi dua dalam Perjanjian Giyanti 1755.
CC : @Sejarah Cirebon