Ketika Daerah “Dicekik” Fiskal: Antara Rasionalitas Menkeu Purbaya dan Realitas Kepala Daerah

Avatar photo

Porosmedia.com – Langit fiskal Indonesia tampak mendung pada pekan pertama Oktober 2025. Tepat pada 7 Oktober 2025, sebanyak 18 gubernur dari berbagai provinsi mendatangi Kementerian Keuangan di Jakarta. Mereka datang bukan untuk seremonial, melainkan untuk menyampaikan keluhan serius terhadap kebijakan pemotongan Transfer ke Daerah (TKD) yang dilakukan oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa.

Langkah kolektif para kepala daerah itu menjadi alarm keras bahwa hubungan fiskal pusat-daerah sedang tidak baik-baik saja. Dalam bahasa sederhana, daerah merasa “dicekik” oleh kebijakan penghematan pusat, sementara tanggung jawab di daerah justru terus membengkak.

Fakta yang Tak Bisa Ditinggalkan

Kementerian Keuangan di bawah Purbaya memotong alokasi Transfer ke Daerah (TKD) dalam RAPBN 2026 menjadi Rp649,99 triliun, turun drastis dari Rp919,87 triliun pada APBN 2025. Artinya, terjadi pengurangan sekitar Rp269 triliun, atau rata-rata pemotongan 20–30 persen untuk provinsi dan bahkan 60–70 persen di beberapa kabupaten.

Contoh konkret datang dari Maluku Utara, di mana Gubernur Sherly Laos menyebut dana transfer dari pusat turun dari Rp10 triliun menjadi Rp6,7 triliun—terpangkas sekitar Rp3,5 triliun, terutama di sektor Dana Bagi Hasil (DBH). Aceh pun mengalami nasib serupa; Gubernur Muzakir Manaf menyebut TKD-nya berkurang 25 persen. Di Sumatera Barat, Gubernur Mahyeldi Ansharullah bahkan mengaku kesulitan membayar gaji pegawai.

Bagi daerah, pemotongan ini bukan sekadar angka. Ia berimbas langsung pada pembangunan infrastruktur, layanan publik, hingga operasional pemerintahan. Beberapa kepala daerah terang-terangan menilai, kebijakan ini telah mengganggu program prioritas yang dijanjikan kepada rakyat.

Baca juga:  Program Solusi Sampah Zero Desa Ciwaruga Dorong Inovasi Insinerator Ramah Lingkungan

Apa Alasan Menkeu Purbaya?

Purbaya menjawab kritik para gubernur dengan sikap yang tenang, bahkan terkesan santai. Ia menyebut kebijakan ini bagian dari upaya menjaga stabilitas fiskal nasional di tengah melambatnya ekonomi pada sembilan bulan pertama tahun 2025. Menurutnya, negara tak bisa memaksakan diri menggelontorkan anggaran besar ke daerah ketika penerimaan pajak dan ekonomi nasional sedang lesu.

Ia juga menyoroti buruknya kinerja serapan anggaran di daerah, bahkan menuding adanya “uang nganggur” dalam kas Pemda yang tidak segera digunakan untuk pembangunan. “Kalau anggarannya tidak dipakai, ya kami alihkan ke program yang lebih siap,” ujarnya, dengan nada yang oleh sebagian gubernur dianggap sinis, namun oleh sebagian ekonom dianggap realistis.

Purbaya berdalih bahwa kebijakan ini bukan pemotongan permanen, melainkan penataan ulang (cash management). Pemerintah pusat, katanya, akan mengembalikan sebagian anggaran apabila kondisi ekonomi membaik pada triwulan kedua tahun 2026.

Sementara itu, dasar hukum dari kebijakan semacam ini dapat ditelusuri ke Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 24 Tahun 2024, yang memberi kewenangan bagi Kemenkeu untuk menunda atau memangkas penyaluran TKD apabila daerah tidak memenuhi belanja wajib tertentu.

Antara Rasionalitas Fiskal dan Realitas Lapangan

Dari sisi fiskal, argumen Menkeu Purbaya masuk akal. Indonesia memang menghadapi tekanan ekonomi akibat perlambatan global, defisit perdagangan, serta kebutuhan pembiayaan APBN yang kian berat. Namun, dari sisi daerah, kebijakan ini terasa seperti menghukum yang patuh dan yang bermasalah secara bersamaan.

Baca juga:  Dukungan Penuh untuk NPCI Kota Bandung: Kolaborasi Pentahelix Menuju Juara Umum Peparprov Jabar 2026

Tidak semua daerah memiliki kapasitas fiskal kuat seperti DKI Jakarta atau Jawa Barat. Daerah-daerah dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) rendah jelas paling terpukul. Ironisnya, mereka adalah wilayah yang paling membutuhkan dukungan pusat untuk membangun infrastruktur dasar dan menyejahterakan masyarakat.

Efek domino dari pemotongan TKD pun mulai terasa. Beberapa daerah menunda proyek strategis, memangkas kegiatan pelayanan publik, hingga melakukan efisiensi ekstrem di sektor administrasi. Bahkan ada daerah yang menghitung ulang gaji ASN dan PPPK karena khawatir tidak mampu menutup beban rutin.

DKI Jakarta: Studi Kasus “Kemandirian yang Terpaksa”

Pemotongan DBH Jakarta sebesar Rp15–20 triliun menjadi salah satu yang paling disorot. Anggaran daerah ibu kota yang semula mencapai Rp95 triliun diproyeksi turun menjadi hanya Rp79 triliun.

Gubernur Pramono Anung memilih sikap realistis. Ia tidak banyak protes, melainkan mengajukan strategi pembiayaan alternatif seperti:

Obligasi Daerah (Municipal Bond)

Jakarta Collaboration Fund untuk menghimpun dana investasi publik

Kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBDU)

Sukuk daerah dan instrumen pasar modal

Langkah ini menunjukkan bahwa Pemprov DKI mencoba mengubah krisis menjadi momentum untuk mengurangi ketergantungan pada dana pusat. Sebuah manuver cerdas, meski tidak semua daerah punya ruang fiskal dan daya tarik investasi seperti Jakarta.

Menimbang Keadilan Fiskal

Baca juga:  Dorong Pengelolaan Sampah Berbasis RT, Kota Bandung Butuh Banyak Champion!

Kritik utama terhadap kebijakan Purbaya bukan soal niat menjaga fiskal, melainkan ketimpangan dampak dan lemahnya komunikasi kebijakan. Pemerintah pusat seolah lupa bahwa otonomi daerah dibangun atas prinsip distribusi keadilan fiskal, bukan sentralisasi kendali keuangan.

Pemotongan TKD tanpa mekanisme transisi yang jelas hanya memperlebar jarak antara “pusat yang kuat” dan “daerah yang berjuang.” Jika ini berlanjut, kita berpotensi menghadapi resentimen fiskal—ketidakpercayaan daerah terhadap pemerintah pusat—yang dalam jangka panjang bisa mengancam kohesi nasional.

Desentralisasi Fiskal di Persimpangan Jalan

Langkah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memang memiliki dasar hukum dan logika fiskal yang dapat diterima. Namun, logika ekonomi tidak selalu identik dengan logika sosial dan politik. Di balik angka-angka efisiensi, ada jutaan warga daerah yang terdampak, ada proyek-proyek publik yang tertunda, dan ada kepala daerah yang berjuang menjaga janji pada rakyatnya.

Jika pusat ingin daerah memperbaiki kinerja anggaran, maka komunikasi fiskal harus dibangun secara sejajar, bukan top-down. Pemerintah pusat perlu membuka ruang konsultasi dan memberi penghargaan pada daerah yang berprestasi, bukan justru memukul rata semua dengan satu kebijakan penghematan.

Karena pada akhirnya, stabilitas fiskal nasional tak mungkin dicapai dengan membuat daerah terengah-engah.

Foto : Istimewa

* Sumber Referensi: Tempo, CNBC Indonesia, Kompas, Bisnis.com, CNN Indonesia, Tirto, IDN Financials, Netralnews, Antaranews, dan publikasi resmi Kementerian Keuangan (7–8 Oktober 2025).