Kepemimpinan Farhan-Erwin Di Kota Bandung: Analisis, Paradoks, dan Perspektif Publik

Antara Harapan dan Realitas Pemerintahan Kota

Avatar photo

Oleh R. Wempy Syamkarya, SH., MM
Pengamat Kebijakan Publik dan Politik

Porosmedia.com – Kepemimpinan Wali Kota Bandung Muhammad Farhan dan Wakil Wali Kota Erwin tengah memasuki fase penilaian publik yang penting. Dalam periode yang relatif singkat, duet ini dihadapkan pada berbagai tantangan klasik perkotaan: birokrasi lamban, keterbatasan fiskal, dan tekanan politik.
Namun, di balik citra kepemimpinan yang komunikatif dan terbuka, masih tersisa pertanyaan besar — apakah visi “Bandung UTAMA” (Unggul, Terbuka, Amanah, Maju, dan Agamis) telah benar-benar menembus lapisan realitas sosial warga kota?

Akar Masalah: Antara Visi, Koordinasi, dan Politik Praktis

Berdasarkan pengamatan lapangan dan dinamika kebijakan publik, sejumlah faktor tampak menjadi penyebab belum signifikannya kinerja pemerintahan Farhan–Erwin, di antaranya:

1. Ketiadaan Grand Design yang Terpadu
Walaupun visi Bandung “UTAMA” telah dipublikasikan, arah strategisnya belum cukup kuat mengikat lintas sektor. Visi ini cenderung berhenti di tataran retorika tanpa roadmap implementatif yang terukur.

2. Keterbatasan Anggaran dan SDM Teknis
Sejumlah program prioritas tersendat bukan karena minim ide, melainkan karena lemahnya daya dukung fiskal dan kapasitas teknokratis birokrasi di tingkat pelaksana.

3. Koordinasi Antar-Perangkat Daerah yang Lemah
Ego sektoral di tubuh perangkat daerah masih menjadi hambatan besar. Kurangnya sinkronisasi menyebabkan inefisiensi kebijakan dan pelaksanaan program di lapangan.

Baca juga:  Satgas Yonif 762/VYS Melaksanakan Pengecatan MCK Umum di Kampung Yarrat

4. Politik Transaksional yang Masih Membayangi
Seperti halnya di banyak daerah lain, tekanan politik jangka pendek masih kerap memengaruhi arah kebijakan. Ini berpotensi menggeser fokus pemerintahan dari kepentingan publik ke kepentingan politik sesaat.

Paradoks Bandung: Rencana Besar, Realisasi yang Terbatas

Fenomena yang kini muncul di Bandung memperlihatkan paradoks klasik dalam tata kelola daerah, yaitu kesenjangan antara planning dan execution.

1. Rencana vs Implementasi
Banyak program bagus di atas kertas, namun tidak mencapai hasil di lapangan karena lemahnya kontrol dan evaluasi.

2. Keterbatasan Anggaran dan Kapasitas Aparatur
Program sering kali tertahan di meja birokrasi akibat minimnya sumber daya dan keterlambatan eksekusi anggaran.

3. Koordinasi yang Tidak Sinergis
Ketika satu dinas melangkah cepat, yang lain tersendat. Hasilnya: ketimpangan capaian pembangunan antarsektor.

4. Minim Transparansi dan Akuntabilitas
Tanpa keterbukaan informasi yang memadai, publik kesulitan menilai sejauh mana program benar-benar berdampak.

Paradoks-paradoks ini perlu dijawab dengan keberanian melakukan reformasi manajerial internal dan pembenahan sistem tata kelola pemerintahan.

Rekomendasi Strategis: Membangun Legasi Kepemimpinan

Untuk meninggalkan legasi positif bagi warga Bandung, beberapa langkah strategis perlu segera diambil Farhan–Erwin:

1. Menajamkan Arah Visi–Misi
Menyusun blueprint pembangunan Bandung dengan indikator kinerja yang terukur dan berbasis data.

Baca juga:  FKPPI Kota Bandung Rayakan HUT ke-47 dengan Semangat Kebersamaan di Manglayang Park

2. Reformasi Infrastruktur Perkotaan
Fokus pada revitalisasi transportasi publik, drainase, dan pengelolaan sampah — tiga persoalan kronis yang menjadi indikator nyata kualitas hidup warga.

3. Menguatkan Ekonomi Lokal
Mendorong UMKM dan industri kreatif dengan pendekatan hilirisasi ekonomi dan pembiayaan mikro yang lebih progresif.

4. Meningkatkan Partisipasi Publik dan Transparansi
Menghidupkan kembali forum warga, memperkuat kanal komunikasi digital, dan membuka akses data publik sebagai bagian dari pemerintahan partisipatif.

5. Membangun Birokrasi yang Efisien dan Adaptif
Melalui pelatihan, mentoring, dan redistribusi SDM agar pelayanan publik berjalan lebih cepat dan tepat sasaran.

Kepemimpinan Farhan: Antara Harapan dan Evaluasi

Farhan dikenal memiliki gaya kepemimpinan yang terbuka, komunikatif, dan kolaboratif. Ia berupaya menegakkan tata kelola pemerintahan yang inklusif serta berbasis pada kemitraan publik–swasta.
Beberapa capaian yang layak diapresiasi antara lain:

Penguatan konsep “Bandung UTAMA” dengan lima pilar utama pembangunan.

Komitmen terhadap pengendalian sampah dan transportasi publik.

Fokus pada pengembangan ekonomi kreatif dan kesejahteraan masyarakat.

Namun demikian, publik juga mencatat beberapa kekurangan yang perlu segera diperbaiki:

Belum adanya laporan evaluatif yang transparan terkait capaian program prioritas.

Lemahnya komunikasi lintas dinas dan stakeholder engagement.

Baca juga:  Fufufafa makin Cetar Membahana, alias Wela-wela

Tantangan manajemen waktu dan prioritas kebijakan di tengah keterbatasan anggaran.

Kepemimpinan yang Diuji oleh Waktu

Setiap periode kepemimpinan selalu diukur bukan dari janji, melainkan dari legacy yang ditinggalkan.
Farhan dan Erwin masih memiliki waktu untuk memperbaiki arah kebijakan dan memperkuat manajemen kota.
Namun, publik berhak berharap lebih dari sekadar slogan “Bandung UTAMA” — yang diinginkan adalah pemerintahan yang efektif, transparan, dan berorientasi hasil.

Waktu akan menjadi hakim paling objektif.
Apakah duet Farhan–Erwin mampu membuktikan bahwa kolaborasi dan integritas bisa mengubah wajah Kota Bandung?
Kita tunggu jawabannya dalam kerja nyata, bukan sekadar retorika.

 

R. Wempy Syamkarya, SH., MM
Pengamat Kebijakan Publik dan Politik