Kepala Daerah dan Media Sosial: Ancaman terhadap Peran Jurnalisme dan Kualitas Demokrasi

Avatar photo

Porosmedia.com – Era digital memberi kekuatan baru bagi kepala daerah untuk menjangkau masyarakat melalui platform media sosial. Namun, di balik kebangkitan ini, tersembunyi sebuah masalah serius: bahwa peran jurnalisme dan kontrol sosial terhadap kekuasaan semakin terpinggirkan. Dalam konteks ini, mari kita telusuri dinamika kompleks antara kepala daerah, media, dan masyarakat di Indonesia.

Hadirnya media sosial telah mengubah cara kepala daerah berkomunikasi dengan publik. Mereka kini dapat dengan mudah menyampaikan pesan politik, kebijakan, dan citra diri tanpa melalui jalur media tradisional yang biasanya akan melakukan verifikasi dan kontrol. Ini menjadi alat strategis untuk membangun citra dan meraih dukungan publik.

Namun, fenomena ini juga menciptakan implikasi serius bagi jurnalisme. Ketika kepala daerah menggunakan media sosial sebagai platform utama untuk menyampaikan informasi dan membangun narasi, produk jurnalistik dari media mainstream berisiko terpinggirkan. Dalam konteks ini, banyak media yang berjuang untuk mendapatkan pengakuan sebagai sumber informasi yang kredibel, sekaligus harus menyesuaikan diri dengan dominasi informasi yang disebarkan di platform digital.

Dalam kondisi ini, media tradisional semakin terbelakang dalam posisi sebagai pengawas dan kontrol sosial terhadap kebijakan publik. Kritikan yang dilontarkan media terhadap kepala daerah sering kali tidak didengarkan, dan banyak kalangan masyarakat memilih untuk mempercayai informasi yang disebarkan melalui media sosial. Ini menciptakan kemungkinan terjadinya pengabaian terhadap informasi yang lebih berkualitas, berimbang, dan terverifikasi yang seharusnya disediakan oleh media jurnalistik.

Baca juga:  Angka ketimpangan Ekonomi di Kota Bandung andung (gini rasio 0,46), Farhan: Harus disikapi Serius

Dalam hal ini, masyarakat juga memiliki andil besar. Sikap diam dan ketidakakuratan dalam meminta media untuk berperan sebagai kontrol sosial menunjukkan penurunan kesadaran publik akan pentingnya jurnalisme berkualitas. Hal ini diperparah dengan resesi pendapatan iklan di media akibat beralihnya perhatian publik ke platform digital, baik yang dikelola pemerintah maupun swasta.

Kekuatan eksekutif, terutama kepala daerah, untuk memanfaatkan platform digital dalam kepentingan politiknya menciptakan ketidakseimbangan. Legislatif, yang seharusnya berperan dalam mengawasi dan mengkritisi kebijakan eksekutif, sering kali kesulitan untuk berkompetisi dalam hal pencitraan dan persepsi publik. Dalam konteks ini, penting untuk mempertanyakan sejauh mana legislatif bisa berperan dalam mengawasi kepala daerah yang semakin mencolok di dunia maya.

Apakah undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) cukup kuat untuk mengatur penggunaan media sosial oleh kepala daerah? Di sisi lain, bisakah legislatif berinisiatif untuk menerbitkan undang-undang yang melarang kepala daerah menggunakan platform digital untuk tujuan pencitraan yang menghambat kepentingan publik? Tentu saja, hal ini memerlukan pemikiran kritis dan komunikasi yang baik antara kedua entitas.

Baca juga:  Bambang: mari Bangun dari Semua Unsur, Danlanud: Prajurit harus Peka

Peran jurnalisme dalam konteks ini menjadi semakin penting. Media harus mengembalikan kepercayaan publik melalui produk jurnalistik yang lebih substantif dan informatif. Menghadapi arus digital yang begitu cepat dan instan, media harus memberi kemudahan akses kepada masyarakat terhadap informasi yang valid. Hal ini dapat menciptakan kesadaran bahwa jurnalisme yang baik adalah fondasi bagi masyarakat yang kritis dan sadar akan kebijakan publik.

Krisis yang dihadapi industri media, yang sering kali diabaikan, disebabkan oleh arus informasional yang lebih instan dari media sosial. Di sini, penting untuk mempertanyakan mengapa masyarakat cenderung lebih percaya kepada platform media sosial daripada produk jurnalistik. Sering kali, kenyamanan dan kecepatan menjadi alasan, namun ini juga menggambarkan kurangnya literasi media.

Untuk memasuki era baru jurnalisme yang kuat, penting adanya kerjasama antara semua pemangku kepentingan—pemerintah, legislatif, media, dan masyarakat. Pemerintah harus melihat media sebagai mitra dalam proses demokrasi, bukannya sebagai pesaing atau ancaman. Kebijakan publik yang memberi ruang kepada media untuk berkembang dan berdaya saing adalah langkah penting.

Baca juga:  Budaya Renovasi Rumah Sebagai Resolusi Tahun Baru dan Menyambut Hari Raya: Perwujudan Akan Nilai dan Harapan

Dari sudut pandang akademisi dan para pakar, perlu dilakukan riset lebih lanjut untuk menggali dampak dari ketergantungan masyarakat terhadap media sosial dibandingkan dengan jurnalisme tradisional. Dengan memahami hal ini, kita bisa mengembangkan cara-cara baru untuk mengedukasi masyarakat akan pentingnya menyikapi informasi dengan lensa kritis.

Mari kita bersama-sama mempertahankan peran jurnalisme yang berkualitas sebagai penjaga demokrasi kita. Jurnalis bukanlah pelengkap, tetapi merupakan garda terdepan yang menjamin keberlangsungan informasi yang akurat dan berimbang bagi masyarakat. Jika kita terus menerus mengabaikan kualitas jurnalisme, maka kita menempatkan masa depan demokrasi kita dalam risiko yang nyata.