Porosmedia.com, Bahaya Child Grooming – Kejahatan seksual pada anak atau child grooming perlu diwaspadai. Terlepas dari adanya niat jahat beberapa oknum, keluarga dan orang-orang terdekat wajib melakukan pencegahan dengan memahami apa child grooming hingga mengenali tindak tanduk pelaku.
Apa itu Child Grooming?
Child grooming adalah upaya yang dilakukan oleh seseorang dalam membangun hubungan kepercayaan dan ikatan emosional dengan anak atau remaja sehingga mereka bisa memanipulasi atau mengeksploitasi anak tersebut.
Psikolog klinis Nuzulia Rahma menjelaskan bahwa child grooming adalah suatu upaya untuk memanipulasi korban.
Menurut jurnal Child Grooming Sebagai Bentuk Pelecehan Seksual Anak Melalui Aplikasi Permainan Daring, memanipulasi menjadi satu kata yang perlu digarisbawahi dalam child grooming. Pelaku child grooming memang memiliki sikap yang suka sekali memanipulasi anak.
Psikolog anak dari Universitas Indonesia, Anna Surti Artiani mengatakan, grooming ini bisa terjadi dalam berbagai bentuk dan bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk senior, guru les, orang yang tidak dikenal atau mentor. Selain memanipulasi untuk tujuan seksual, pelaku yang secara sengaja memainkan emosi anak hingga ia terpuruk secara mental juga termasuk dalam kekerasan psikis, ujarnya. Dalam beberapa kasus, pelaku bisa saja turut mendekati keluarga korban, sehingga ia semakin tidak sadar sedang dimanipulasi.
Grooming Tidak Terbatas Secara Fisik
Saat ini, grooming tidak lagi hanya terbatas pada hubungan fisik. Di dunia digital pun grooming sudah marak terjadi. Di level yang lebih ekstrem, perilaku grooming ini bisa sampai pada tindak kriminal, di mana pelaku biasanya adalah seorang predator seksual.
Selain media sosial, kanal-kanal game online yang digandrungi anak-anak menjadi salah satu tempat berburu para pemangsa seksual. Pada 2019 lalu misalnya, publik dihebohkan dengan kasus Prasetya Devano, yang melakukan grooming kepada lebih dari 10 anak melalui aplikasi game Hago.
Ia memanipulasi anak-anak usia 9-15 tahun dengan cara membujuk mereka, melakukan pendekatan emosional lewat telepon, kemudian mengajak anak untuk melakukan video call sex (VCS).
Pelaku grooming (groomer) merupakan orang dewasa yang biasanya berkarisma dan memiliki otoritas yang lebih tinggi. Karisma dan otoritas ini mereka jadikan fondasi untuk mengontrol korban sehingga dapat menurut pada groomer.
Selain itu, mereka dianggap memberikan dampak positif dan disenangi banyak orang, misalnya senior, guru, pejabat, pemuka agama, dan sebagainya. Namun, groomer tidak mengenal latar belakang dan gender. Lalu, bagaimana groomer menjalankan aksinya?
Wisaqatul Arfia mengungkap dalam tulisannya di Kumparan, pertama, proses selecting. Dalam menjalankan aksinya, groomer akan memulai dengan melakukan seleksi terhadap calon korban. Korban yang dipilih biasanya berdasarkan daya tarik fisik yang mereka sukai, kemudahan akses kepada calon korban, hingga kerentanan korban, seperti kurangnya rasa percaya diri anak, memiliki masalah di pertemanan maupun keluarga, ataupun jarang bersosialisasi. Orang tua yang sibuk dan kurang mengawasi anak pun akan membuat si anak menjadi sasaran empuk groomer.
Kedua, accessing atau melakukan penyaringan. Groomer membutuhkan akses untuk dapat terus berhubungan dan dekat dengan korban. Misalnya, menjadi babysitter anak saat orang tua sedang sibuk, menjadi guru privat anak, menawarkan untuk mengantar jemput anak, atau menjadi pacar anak dengan modus sebagai teman bercerita mengenai hari-harinya di sekolah.
Ketiga, trust building atau membangun kepercayaan dan ikatan emosional dengan korban. Groomer akan mendekati korban dan memberikan perhatian lebih. Groomer akan memberikan berbagai hadiah kecil dan mulai memuji-muji anak. Groomer juga akan berbagi rahasia yang membuat anak merasa spesial. Dari sinilah anak akan mulai percaya kepada pelaku dan mulai termanipulasi.
Keempat, sexual stage. Setelah anak percaya, groomer akan mulai memperkenalkan topik bahasan yang mengarah ke seksual. Bahkan, mulai menyentuh korban, memeluk, dan sebagainya.
Terakhir, maintaining control atau mempertahankan kontrol. Dalam tahapan ini, pelaku akan terus meyakinkan dan memanipulasi korban agar tetap tunduk padanya. Dalam tahapan ini, groomer akan melakukan emotional blackmailing.
Groomer akan mengungkit bagaimana mereka hadir menjadi teman dan menemani korban ketika mereka kesepian dan terpuruk. Taktik ini juga digunakan agar korban tetap merahasiakan hal-hal yang sudah terjadi. Tidak hanya itu, groomer akan mengancam korban. (kumparan.com)
Bahaya dari Dampak child grooming begitu besar dan menakutkan. Melansir National Society for the Prevention of Cruelty to Children, terdapat beberapa bahaya grooming yang berpotensi terjadi pada anak, di antaranya, gangguan kecemasan, depresi, kesulitan mengatasi stres, menyakiti diri sendiri, berpikiran untuk bunuh diri. Lebih parah lagi adalah sampai terjadi pelecehan dan kekerasan seksual, yaitu perzinaan yang menyebabkan adanya penyakit menular seksual atau kehamilan.
Orang tua berperan penting untuk menghindarkan anak dari kekerasan seksual atau pun chil grooming. Sebenarnya maraknya kekerasan sexsual pada anak dan child grooming tidak hanya kesalahan orang tua dalam memberikan perhatian pada anak anaknya ,tetapi juga karena kegagalan negara dalam melindungi rakyat dan menjamin keamanan rakyat.
Mubadalah.id melansir, beberapa pihak menilai bahwa hal penting untuk mengatasinya adalah adanya kesadaran orang tua atas isu child grooming dan keterbukaan orang dewasa dalam merespons anak korban grooming.
Mengasingkan anak tidak akan menyelesaikan permasalahan anak pasca-grooming, justru seperti menutup luka dengan kain tanpa mengobatinya. Perlu hubungan yang baik dan terbuka antara orang tua dan anak sehingga anak tidak perlu mencari kasih sayang palsu dari orang yang salah.
Jika kita perhatikan dengan saksama, kasus child grooming bukan hal sepele, tetapi menyangkut masa depan generasi kita, masa depan bangsa ini. Oleh karena itu, permasalahan ini tidak semestinya hanya diserahkan pada keluarga untuk menyelesaikannya. Namun, tentu saja, masyarakat dan lebih lagi negara berperan besar melindungi rakyatnya, terlebih anak-anak.
Sistem sekuler kapitalisme dengan berbagai paham turunannya yang batil, seperti liberalisme dan materialisme yang diemban bangsa ini memang meniscayakan kehidupan yang serba sempit dan jauh dari berkah.
Terbukti, hingga kini dunia terus terlanda krisis, terlebih adanya pandemi ini. Belum lagi lemahnya pemahaman masyarakat terhadap ajaran Islam kafah sehingga Islam telanjur dipahami sebatas ritual. Wajar jika tidak sedikit individu muslim yang mengalami disorientasi hidup sehingga mudah menyerah pada keadaan, bahkan terjerumus dalam kemaksiatan.
Permasalahan ini tidak bisa dianggap remeh dan tidak seharusnya hanya diserahkan pada keluarga untuk menyelesaikannya. Penyebab persoalan ini bukan semata karena anak kurang perhatian dari orang tua, tetapi juga interaksi anak dengan internet yang intensif, sementara anak tidak dibekali dengan agama dan pemahaman yang cukup.
Belum lagi, sistem yang mampu untuk mengendalikan internet, yakni negara, seolah santai saja dan tidak mampu mengambil tindak pencegahan dan pemberian sanksi berat terhadap pelakunya. Walhasil, perlu adanya upaya sistemis untuk menyelesaikan persoalan ini, tidak cukup dengan solusi orang tua.
Child grooming dan kejahatan terhadap anak adalah tanggung jawab negara, ia adalah pihak yang bertanggung jawab penuh atas rakyatnya serta individu per individu.
Dalam Islam, tanggung jawab negara diserahkan kepada kepala negara, yaitu Khalifah. Sebagai imam atau pemimpin kaum muslim dan raain, kepala negara harus melindungi rakyatnya dari segala mara bahaya. Sebab, kelak ia akan dimintai pertanggungjawaban di hari kiamat atas amanah kepemimpinannya itu.
Rasulullah saw., bersabda, “Imam adalah raa’in atau penggembala dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.”
Dalam Islam, negara berperan sebagai pelaksana utama penerapan seluruh syariat Islam. Tidak pandang bulu, terhadap siapa pun pelaku tindak kriminal, negara berwewenang memberikan sanksi tegas, termasuk pelaku tindak kejahatan terhadap anak.
Selain itu, Islam mewajibkan negara untuk menjamin kehidupan yang bersih dari berbagai kemungkinan berbuat dosa. Negara menjaga agama, moral, dan menghilangkan setiap hal yang dapat merusaknya, seperti terjadinya porno aksi atau peredaran pornografi, minuman keras, narkoba, dan sebagainya.
Dalam Islam, negara adalah satu-satunya institusi yang mampu melindungi anak dan mengatasi persoalan kekerasan terhadap anak secara sempurna. Imam adalah junnah (perisai). Sebagaimana layaknya perisai, ia bertanggung jawab penuh terhadap rakyatnya.
إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
”Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di belakangnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud)
Demikianlah keunggulan sistem kehidupan Islam. Masihkah berharap pada sistem sekuler kapitalisme yang sungguh telah gagal melindungi rakyatnya? Kini saatnya kita berjuang bersama untuk mewujudkan sistem kehidupan yang unggul dengan berupaya menerapkan sistem islam.