Porosmedia.com — Sekitar pertengahan abad ke-19, gerombolan perompak Filipina selatan mendapat saingan baru: gerombolan bajak laut Tobelo-Galela. Pada 1850, angkatan laut Belanda melaporkan bahwa Kepulauan Bawean di pantai utara Jawa Timur diserang oleh tidak kurang dari 15 perahu bajak laut. Perahu-perahu yang digunakan para perompak cukup besar dan dikayuh puluhan orang – tiap perahu memuat sekitar 60 orang – serta dilengkapi meriam, senjata api, dan amunisi.
Perahu-perahu bajak laut itu mendarat di perkampungan ketika kaum lelakinya tengah berlayar untuk berdagang. Rumah-rumah penduduk dibakar setelah harta bendanya dirampok.Sementara perempuan dan anak-anak ditangkap untuk dijadikan budak belian. Patroli angkatan laut yang dikirim ke tempat kejadian melaporkan bahwa perompakan dilakukan oleh bajak laut domestik, bukan perompak Filipina Selatan.
Pada 1852, angkatan laut juga melaporkan terjadinya serangkaian aksi perompakan di perairan Flores dan Sumbawa. Dari para perompak yang berhasil ditangkap, diketahui bahwa para bajak laut itu berasal dari Tobelo, selain sebagiannya berasal dari Filipina Selatan.Laporan-laporan tahun selanjutnya mengungkapkan bahwa muncul pula bajak laut yang berasal dari Galela. Bahkan, secara insidental, ditemukan pula orang-orang Loloda, Patani dan Gebe yang terlibat dalam aksi-aksi perompakan.
Karena aksi-aksi perompakan yang dilakukan para bajak laut asal Tobelo dan Galela begitu meresahkan, Pemerintah Belanda mendekati para sultan Maluku dan meminta bantuan mereka – terutama Sultan Ternate dan Bacan yang kawulanya termasuk orang Tobelo dan Galela – untuk menanggulanginya. Tetapi, upaya ini tidak segera menunjukkan hasil. Bahkan, para perompak, selain menyerang daerah-daerah seperti Banggai, Buton, dan Tombuku, beroperasi di depan mata para sultan sendiri, seperti di Bacan, Obi, Sanana dan Seram. Pulau-pulau yang berdekatan dengan Tidore dan Ternate, semisal Moti, Makian, dan Mare, tidak luput dari sasaran operasi para bajak laut Tobelo dan Galela.
Salah satu pemimpin bajak laut Tobelo yang sangat ditakuti adalah Laba, yang pada 1855 tertangkap sedang bersembunyi di kampungnya di Tobelo. Residen Ternate, Stierling, setelah menerima informasi bahwa Laba berada di Gamhoku, Tobelo, segera mengirim kapal perang Visivius dan menuntut penyerahan Laba yang berada dalam perlindungan penduduk Gamhoku.
Tetapi, penduduk kampung ini menolak tuntutan tersebut. Akibatnya, Stierling memerintahkan kapal perangnya menembaki dan membakar kampung Gamhoku. Setelah kampung itu rata dengan tanah, penduduknya dipindahkan dari Gamhoku (“kampung yang terbakar”) ke Gamsungi (“kampung baru”), yang kemudian menjadi ibukota Kecamatan Tobelo hingga sekarang.Laba sendiri tertangkap dan diseret ke pengadilan di Ternate, serta dijatuhi hukuman pengasingan ke Bengkulu dan meninggal di tempat pengasingannya itu.
Dari laporan angkatan laut Belanda yang didasarkan pada wawancara dengan para perompak yang tertangkap maupun tawanan para bajak laut yang dibebaskan, diketahui bahwa hampir semua gerombolan bajak laut ketika itu dipimpin oleh orang Tobelo atau Galela.
Gerombolan-gerombolan perompak ini beroperasi dengan menggunakan perahu-perahu yang dapat mengangkut puluhan pendayung dan ratusan pembajak. Disamping itu, perahu-perahunya dipersenjatai dengan meriam dan senjata api. Bila kepergok kapal patroli Belanda, mereka melakukan perlawanan dan sering terjadi tembak-menembak dengan kapal-kapal Belanda itu.
Dalam melakukan aksinya, para bajak laut Tobelo-Galela tidak diskriminatif. Pada Nopember 1874, perahu Sultan Buton dirompak dan sultan sendiri ikut bertempur menghadapi para perompak Galela. Para bajak laut Tobelo merompak perahu Sultan Banggai dalam perjalanannya ke Ternate, ketika ia akan beraudiensi dengan Sultan Ternate. Semua isi perahu dikuras habis, termasuk sejumlah upeti yang akan dipersembahkan kepada Sultan Ternate. Pada tahun yang sama, perompak Tobelo berhasil menguras sebuah kapal niaga di Seram.
Tetapi, dalam perompakan di pantai timur Sulawesi, misalnya, aparat Kesultanan Ternate yang ditempatkan di Banggai juga turut terlibat. Utusan Ternate dan Sekretaris Kerajaan Banggai, keduanya orang Ternate, merupakan penadah hasil rompakan. Mereka juga menjadi “sole agent” pembelian budak hasil tangkapan para perompak Tobelo-Galela.
Lebih lengkap baca artikel du bawah ini :
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Galela,_Halmahera_Utara