Kangpisman: Solusi Jadul atau Fondasi Masa Depan?

Avatar photo

Oleh : Kang Yayan (Aktivis Pengelolaan Sampah Kota)

Porosmedia.com, Kota Bandung – yang pernah menjadi pelopor dalam pengelolaan sampah melalui program Kangpisman (Kurangi, Pisahkan, dan Manfaatkan), kini menghadapi tantangan baru. Dengan meningkatnya volume sampah yang mencapai 1.500–1.600 ton per hari, dan hanya sekitar 300 ton yang dapat diolah menjadi kompos atau bahan daur ulang, sisanya masih menumpuk di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) seperti Sarimukti yang sudah kelebihan kapasitas.

Dalam upaya mencari solusi cepat, pemerintah mulai melirik teknologi incinerator atau pembakaran sampah skala besar. Misalnya, proyek TPPAS Legok Nangka dirancang untuk melayani enam wilayah di Jawa Barat, termasuk Kota Bandung. Namun, pendekatan ini menuai kritik dari berbagai pihak.

Yobel Novian Putra dari GAIA Asia-Pacific menyatakan, “Membakar sampah organik hanya mengubah emisi metana menjadi CO₂ dalam jumlah besar. Ini akan menjauhkan Indonesia dari target Perjanjian Paris dan Global Methane Pledge.”

Penggunaan incinerator di negara berkembang seperti Indonesia menghadapi tantangan besar, termasuk kurangnya sistem pemantauan emisi beracun seperti dioksin. Menurut laporan Mongabay, di Indonesia, pengujian dioksin dari emisi incinerator hanya diwajibkan sekali setiap lima tahun, yang menimbulkan kekhawatiran serius tentang dampak kesehatan masyarakat.

Baca juga:  100 Hari Kerja Bupati KBB Jadi Sorotan Publik: Mau Dibawa ke Mana Kabupaten Bandung Barat?

Di tengah kontroversi ini, program Kangpisman tetap menunjukkan potensi besar. Dengan pendekatan berbasis komunitas, program ini mendorong masyarakat untuk mengurangi, memilah, dan memanfaatkan sampah secara mandiri. Inisiatif seperti Sekolah Kangpisman memberikan pelatihan praktis tentang pengelolaan sampah rumah tangga, termasuk penggunaan biodigester dan budidaya maggot BSF.

Kurhayadi dari Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Bandung menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat dalam pengelolaan sampah yang efektif.

Pemerintah Indonesia telah menetapkan target ambisius untuk menghentikan pembangunan TPA baru mulai tahun 2030 dan menghilangkan TPA sepenuhnya pada tahun 2040. Untuk mencapai tujuan ini, pendekatan yang berfokus pada pengurangan sampah di sumbernya, seperti Kangpisman, perlu diperkuat dan diperluas.

Sementara teknologi incinerator menawarkan solusi cepat, risiko lingkungan dan sosial yang ditimbulkannya tidak bisa diabaikan. Sebaliknya, pendekatan berbasis komunitas yang menekankan pada pengurangan dan pemanfaatan kembali sampah menawarkan solusi berkelanjutan yang lebih aman dan inklusif.