Porosmedia.com, Bandung — Ketua DPRD Kota Bandung, H. Asep Mulyadi, S.H., yang akrab disapa Kang Asmul, menegaskan pentingnya penguatan citra Kota Bandung sebagai kota global dalam ajang Simposium Bandung Asia Afrika City Network yang digelar di Aula Barat ITB, Senin (19/5/2025). Simposium ini sekaligus memperingati 70 tahun Konferensi Asia Afrika dan Hari Kebangkitan Nasional.
Kegiatan bertema “Internasionalisasi Kota-Kota Indonesia: Promoting Center of Excellence and City Branding APEKSI” tersebut dihadiri oleh sejumlah pejabat nasional dan diplomat asing, termasuk Wamendagri Bima Arya, Wamenkraf Irene Umar, dan Duta Besar Bangladesh untuk Indonesia, Md. Tarikul Islam.
Dalam sambutannya, Kang Asmul menekankan bahwa Kota Bandung bukan sekadar lokasi historis Konferensi Asia Afrika, tetapi harus mampu mewujudkan perannya sebagai “ibu kota moral bangsa-bangsa Asia-Afrika” yang berkelanjutan. Artinya, bukan hanya mengenang sejarah, melainkan merevitalisasi peran tersebut di panggung internasional.
“Bandung tidak boleh puas hanya dengan status sebagai kota wisata. Branding harus terus dikuatkan agar mampu menampilkan identitas kota dunia yang modern, kreatif, dan manusiawi,” tegas Kang Asmul.
Menurutnya, kekuatan Bandung tidak berhenti pada ikon-ikon seperti angklung, fesyen, atau kuliner. Ia mendorong agar kebiasaan warga seperti lari pagi dan semangat Persib Bandung juga menjadi bagian dari budaya urban yang diekspor sebagai daya tarik global.
Namun, Kang Asmul menggarisbawahi bahwa pembentukan citra bukan sebatas kampanye visual. Citra harus tumbuh dari realitas kehidupan masyarakat, mulai dari kebersihan lingkungan, keramahtamahan, hingga kesejahteraan warganya.
“Kita tidak bisa menjual kemasan tanpa isi. Branding yang berhasil adalah yang terasa, bukan hanya terlihat,” imbuhnya.
Ia juga menegaskan peran Bandung sebagai model percontohan bagi kota-kota lain di Indonesia. Sebagai kota yang telah menjadi simbol solidaritas global, Bandung memiliki tanggung jawab moral untuk menjadi pemimpin dalam praktik tata kota yang inklusif dan berkelanjutan.
Dalam konteks ini, Kang Asmul menyerukan kolaborasi lintas sektor: dari pemerintah, akademisi, hingga masyarakat sipil. Simposium ini, menurutnya, harus menjadi titik awal konsolidasi narasi dan tindakan, bukan sekadar seremoni.
“Bandung adalah panggung. Dunia sedang melihat. Pertanyaannya: apakah kita tampil sebagai aktor utama, atau hanya figuran dalam cerita kita sendiri?” pungkasnya.