
“Arab Saudi bukan kerajaan keturunan Nabi. Ia adalah kerajaan hasil dari kecerdikan politik, aliansi militer, dan kekuatan minyak.”
– Ayi Koswara
Porosmedia.com — Artikel ini mengulas secara kritis asal-usul kekuasaan keluarga Saud di Arab Saudi, membedah aliansi politik-religius, hubungan strategis internasional, hingga dinamika antara legitimasi politik dan spiritual di tanah suci.
Keluarga Saud, penguasa Arab Saudi saat ini, bukan berasal dari garis keturunan Nabi Muhammad SAW. Mereka merupakan keturunan kepala suku Bani Hanifah dari kawasan Nejat, yang membangun kekuasaan lewat strategi politik, kekuatan militer, dan aliansi ideologis dengan gerakan Wahabi.
Pada 1744, Muhammad bin Saud menjalin perjanjian dengan Muhammad bin Abdul Wahab untuk “memurnikan” ajaran Islam dari praktik-praktik yang dianggap menyimpang.
Aliansi ini melahirkan Wahabisme, paham keagamaan yang menjadi fondasi ideologi kerajaan sekaligus memperkuat legitimasi politik keluarga Saud.
Arab Saudi: Negara Bernama Dinasti
Pada 1932, Arab Saudi resmi dideklarasikan, mengambil nama langsung dari keluarga Saud.
Ini menjadikannya satu-satunya negara modern yang menggunakan nama dinasti penguasanya sebagai identitas nasional.
Dalam sistem ini, Wahabisme tidak hanya menjadi ajaran keagamaan, melainkan instrumen kekuasaan: ulama Wahabi mengatur moral publik, sementara keluarga Saud mengendalikan politik, ekonomi, dan hubungan luar negeri.
Aliansi Global dan Kekuatan Minyak
Sejak awal abad ke-20, keluarga Saud membangun hubungan strategis dengan Inggris untuk memperluas wilayah kekuasaan.
Setelah ditemukan cadangan minyak besar pada 1938, Arab Saudi melesat menjadi kekuatan global, dengan minyak sebagai senjata utama.
Pasca Perang Dunia II, Arab Saudi mempererat aliansi dengan Amerika Serikat: minyak untuk perlindungan militer dan pengaruh politik global.
Membangun Citra Pelayan Dua Kota Suci
Untuk memperkuat posisi di dunia Islam, keluarga Saud membangun narasi sebagai Khadim Al-Haramain Al-Sharifain (Pelayan Dua Masjid Suci).
Renovasi besar-besaran Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, pelayanan haji, distribusi Al-Quran, hingga pendanaan lembaga dakwah global dilakukan untuk memperkuat citra ini.
Namun tetap saja, akar kekuasaan keluarga Saud bersifat politik, bukan spiritual.
Mekah dan Madinah dulunya dikuasai keluarga Hashim, keturunan Nabi Muhammad SAW, sebelum akhirnya direbut oleh keluarga Saud pada 1924–1925.
Pemberontakan Masjidil Haram 1979
Titik kritis legitimasi keluarga Saud muncul pada 1979 saat sekelompok ekstremis yang dipimpin Juhayman Al-Otaibi menyerbu Masjidil Haram.
Pemberontakan ini dipicu ketidakpuasan terhadap kekuasaan keluarga Saud yang dianggap tidak memiliki nasab kenabian.
Peristiwa ini membuat Arab Saudi memperketat pengawasan internal dan memperhebat promosi Wahabisme sebagai benteng stabilitas.
Vision 2030: Antara Modernisasi dan Kekuasaan Dinasti
Di bawah kepemimpinan Muhammad bin Salman (MBS), Arab Saudi berusaha keluar dari ketergantungan pada minyak melalui program ambisius Vision 2030.
Namun, modernisasi ini tetap mempertahankan struktur kekuasaan dinasti Saud yang berbasis pada aliansi politik dan kendali ekonomi.
Politik, Bukan Darah Suci
Keluarga Saud mengandalkan:
Strategi politik dan kekuatan militer,
Aliansi ideologi Wahabi,
Dukungan strategis dari negara Barat, khususnya Amerika Serikat.
Mereka tidak pernah mengklaim diri sebagai keturunan Nabi, namun secara efektif menghalangi keturunan Nabi lain untuk tampil di panggung kekuasaan dunia.
Dalam konteks kekuasaan Arab Saudi, legitimasi politik lebih menentukan dibandingkan klaim darah suci.
Sejarah membuktikan, di tanah suci sekalipun, kekuasaan lebih ditentukan oleh siapa yang menguasai alat politik dan ekonomi, bukan semata-mata oleh kesucian garis keturunan.
AYI KOSWARA
CEO FlexLive
Inisiator Balanced Path Academy