Porosmedia.com, Garut – Jembatan Cibera di Desa Cigaronggong, Kecamatan Cibalong, yang sempat viral di media sosial karena kondisinya yang terbengkalai, akhirnya mendapat perhatian langsung dari Bupati Garut, Abdusy Syakur Amin. Pada Rabu (9/7/2025), Syakur turun langsung ke lokasi sebagai bentuk respons terhadap keprihatinan masyarakat atas lambannya penyelesaian infrastruktur vital tersebut.
Kunjungan itu menjadi pengakuan terbuka bahwa proyek jembatan yang sudah lama ditunggu masyarakat belum juga rampung, meski kebutuhan akan konektivitas wilayah—khususnya antara Desa Mekarmukti, Cidatar, Cigaronggong, dan Karyamukti—semakin mendesak.
Dalam keterangannya, Bupati Garut menyebut bahwa keterlambatan pembangunan disebabkan oleh kendala pada pengadaan lahan, yang semula menjadi tanggung jawab pemerintah desa.
“Ada komitmen sebelumnya, jembatan dibangun oleh Pemkab, sementara pengadaan lahan diserahkan ke desa,” jelas Syakur.
Namun demikian, ia mengklaim bahwa pertemuan terbaru dengan kepala desa dan camat menunjukkan telah adanya penyelesaian lahan, membuka peluang untuk melanjutkan proyek.
“Kalau memang lahannya sudah beres, maka tinggal kami lanjutkan pembangunan yang sudah ada,” imbuhnya.
Sayangnya, meski masalah lahan diklaim selesai, Pemkab Garut justru menyatakan bahwa kelanjutan pembangunan baru akan dilakukan pada tahun 2026, bukan dalam waktu dekat. Hal ini memunculkan pertanyaan soal prioritas anggaran dan keseriusan pemerintah dalam menjawab kebutuhan dasar masyarakat.
Jembatan Cibera sebetulnya bukan sekadar proyek fisik, tapi jalur penghubung penting antar-desa yang selama ini dipenuhi risiko karena warga terpaksa melintasi sungai berbatu, dalam, dan rawan air bah.
“Secara geografis, medannya berat. Sungai dalam dan berbatu. Saat musim hujan sering terjadi air bah besar yang berbahaya,” ungkap Syakur.
Kondisi ini tentu memperlihatkan bahwa keterlambatan pembangunan bukan hanya masalah teknis atau administratif, tapi menyangkut keselamatan warga. Dalam situasi tersebut, pemerintah seharusnya tidak menunda penyelesaian hingga tahun anggaran berikutnya tanpa solusi sementara yang konkret.
Warga di sekitar lokasi proyek menagih janji yang sudah berulang kali dilontarkan pejabat. Belum jelas bagaimana Dinas PUPR Kabupaten Garut akan menjalankan tahapan lanjutan, selain sekadar “pematangan lahan”. Apalagi, pembangunan seharusnya bisa didorong melalui mekanisme anggaran perubahan atau skema penanganan darurat, jika memang ada niat politik yang kuat.
Pemerintah Kabupaten Garut dituntut untuk lebih transparan dalam mengelola proyek infrastruktur publik, terutama menyangkut batas waktu dan mekanisme realisasi. Keterlambatan seperti di Jembatan Cibera ini bukan hanya soal teknis, tetapi juga cermin lemahnya koordinasi antarlevel pemerintahan dan minimnya mitigasi terhadap dampak sosial.
Peninjauan Bupati Syakur memang perlu diapresiasi sebagai bentuk tanggung jawab publik. Namun, tanpa timeline yang tegas dan langkah percepatan yang nyata, janji pembangunan di tahun 2026 bisa kembali menjadi narasi penghibur semata. Warga menunggu bukan hanya kunjungan dan dokumentasi, tetapi aksi nyata yang terukur dan tepat waktu.
Nindi Nurdiyanti