Porosmedia.com — Provinsi Jawa Barat, sebagai kawasan dengan populasi terpadat di Indonesia, tengah menghadapi simpul persoalan yang kompleks antara lingkungan, manusia, dan sistem. Hubungan ketiganya bukan hanya menentukan arah pembangunan daerah, tetapi juga keberlanjutan kehidupan di salah satu wilayah paling vital bagi ekonomi dan budaya nasional ini. Di sinilah urgensi membangun ulang kerangka hubungan yang adil dan ekologis menjadi panggilan zaman.
Lingkungan yang Menjerit dalam Diam
Dari lereng-lereng Gunung Ciremai yang terkikis oleh pembalakan liar, hingga pesisir utara Karawang yang digerus abrasi dan pencemaran industri, lanskap Jawa Barat menyimpan luka ekologis yang tak kasatmata. Data dari Dinas Lingkungan Hidup Jawa Barat menunjukkan bahwa setidaknya 65% Daerah Aliran Sungai (DAS) di provinsi ini dalam kondisi kritis atau tercemar berat. Sungai Citarum, yang selama dua dekade terakhir disebut sebagai salah satu sungai terkotor di dunia, adalah simbol dari kegagalan tata kelola lingkungan berbasis manusia dan sistem yang berkeadilan.
Manusia dalam Jerat Pilihan Ekonomi
Pertumbuhan industri di kawasan Bekasi, Karawang, hingga Purwakarta memang menyerap jutaan tenaga kerja. Namun, di balik geliat ekonomi itu, ada konflik antara kebutuhan hidup dan keberlanjutan lingkungan. Petani sawah di sekitar DAS Cimanuk dan Citarum terpaksa menerima air limbah pabrik untuk irigasi. Nelayan di pesisir utara harus menggantung jala karena tangkapan ikan menurun drastis akibat pencemaran. Warga di pinggir-pinggir kota terpaksa tinggal di zona rawan banjir karena tekanan urbanisasi yang tidak tertata.
Manusia Jawa Barat hari ini tidak kekurangan kesadaran, tetapi kekurangan ruang untuk memilih secara bermartabat. Ketika sistem tidak memberi alternatif hidup yang lestari, maka kompromi terhadap lingkungan menjadi keniscayaan yang pahit.
Sistem yang Mandek di Antara Regulasi dan Realisasi
Berbagai kebijakan telah diluncurkan: dari Program Citarum Harum, Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), hingga inisiatif pembangunan hijau. Namun, sebagian besar sistem hanya berhenti pada level formalitas. Masalah mendasarnya bukan ketiadaan regulasi, melainkan lemahnya eksekusi dan minimnya partisipasi publik dalam perumusan dan pengawasan kebijakan.
Kekuatan sistem masih dikooptasi oleh aktor ekonomi besar yang mampu melobi proyek pembangunan besar, seperti tambang, kawasan industri, dan jalan tol, yang kerap mengorbankan ruang hidup warga dan kelestarian alam. Akuntabilitas lingkungan di Jawa Barat belum menyatu dalam nadi pemerintahan dan perencanaan pembangunan.
Menuju Relasi Baru: Membangun Ekologi Sosial Jawa Barat
Kita butuh lompatan paradigma. Jawa Barat tidak cukup hanya mengelola “kerusakan” lingkungan, tapi harus mulai merancang ulang relasi antara manusia dan alam dalam kerangka sistem yang berpihak pada keberlanjutan.
Ada tiga jalan mendesak yang bisa ditawarkan:
1. Desentralisasi Ekologis
Keputusan lingkungan harus dikembalikan pada level lokal, berbasis komunitas dan kearifan lokal. Wilayah adat, pesantren, dan komunitas agraris memiliki modal sosial untuk menjadi pionir pengelolaan lingkungan berbasis etika dan nilai spiritualitas ekologis.
2. Ekonomi Regeneratif
Jawa Barat harus mendorong transisi dari ekonomi ekstraktif menuju ekonomi regeneratif: pertanian organik, ekowisata berbasis komunitas, dan industri kreatif yang tidak bergantung pada perusakan alam.
3. Reformasi Tata Ruang dan Izin Lingkungan
Moratorium atas pemberian izin baru di kawasan resapan, hulu sungai, dan pesisir harus ditegakkan. Evaluasi ulang proyek infrastruktur besar yang merusak ruang ekologis adalah harga yang harus dibayar demi masa depan yang lebih lestari.
Meretas Ulang Masa Depan
Jawa Barat tidak kekurangan sumber daya manusia, pengetahuan, maupun tradisi yang berpihak pada kelestarian. Yang dibutuhkan adalah keberanian kolektif untuk meretas ulang sistem yang telah lama timpang. Dari Cianjur hingga Ciamis, dari ujung Sukabumi sampai Indramayu, masa depan provinsi ini hanya akan seimbang jika lingkungan, manusia, dan sistem kembali dalam harmoni yang utuh.
Berdiri untuk mendesakkan kesadaran ini, agar suara-suara dari akar rumput bisa menggugah mereka yang memegang kekuasaan di atas.