Iran dan Hal-hal yang Membuat Kita Tercengang 

Avatar photo

Oleh: Asrul Sani Abu
Ketua Bidang Hubungan Internasional APINDO Sulsel | Alumni Lemhannas

Porosmedia.com, Makassar, 24 Juni 2025 — Di tengah meningkatnya ketegangan geopolitik antara Iran dan Israel, saya terdorong untuk menghubungi seorang sahabat lama: Haji Mustofa, seorang Qari internasional yang pernah mengharumkan nama Indonesia dalam Musabaqah Tilawatil Qur’an tingkat dunia di Iran, serta pernah mengabdi di Kedutaan Besar Republik Islam Iran di Jakarta.

Perawakannya mirip tentara, namun tutur katanya lembut, ramah, dan penuh ketulusan. Jika beliau melantunkan ayat suci Al-Qur’an, suasananya syahdu—seperti ada getar ruhani yang menyentuh kalbu. Maka, tak heran jika saya memilihnya sebagai narasumber untuk memahami Iran dari sudut yang lebih manusiawi, spiritual, dan jauh dari bias media arus utama.

Ketika sambungan telepon tersambung, suara beliau terdengar hangat.

“Alhamdulillah sehat, Bapak Asrul. Dunia boleh gaduh, tapi hati kita harus tetap lapang.”

Dari obrolan kami sore itu, saya menemukan kembali potongan-potongan mozaik Iran—sebuah bangsa yang sering disalahpahami, namun justru menunjukkan keteguhan, kreativitas, dan ketahanan luar biasa dalam menghadapi tekanan global.

1. Pemimpin Ulama vs Presiden Kapitalis

Iran dipimpin oleh Rahbar (Pemimpin Tertinggi), seorang ulama yang dipilih oleh Dewan Ahli, bukan oleh partai atau kekuatan modal. Presiden Iran, yang dipilih rakyat, menjalankan pemerintahan sehari-hari. Bandingkan dengan Amerika Serikat, yang presidennya sering berasal dari elite bisnis, hasil pertarungan kampanye miliaran dolar—di mana kekuasaan ditentukan oleh kekuatan dana dan lobi, bukan hikmah dan integritas.

Baca juga:  Cita-cita Mbah Hasyim Asyari yang belum kesampaian 

2. Embargo Menguatkan, Globalisasi Melemahkan

Iran bertahan di bawah embargo internasional selama puluhan tahun. Alih-alih runtuh, mereka justru bangkit dengan mengembangkan teknologi sendiri—dari vaksin, drone tempur, hingga sistem pertahanan siber. Di sisi lain, negara-negara seperti AS dan bahkan Indonesia kerap bergantung pada rantai pasok global, sehingga krisis logistik sekecil apapun bisa berdampak besar pada ekonomi domestik.

3. Pusat Perbelanjaan Bebas Brand Asing

Iran memiliki mal yang tujuh kali lebih luas dari Grand Indonesia. Namun, tidak ada satu pun gerai McDonald’s, Starbucks, KFC, H&M, atau merek global lainnya. Isinya? Produk lokal. Ekonomi tumbuh dari dalam, rakyatnya bangga dengan buatan negeri sendiri. Kontras dengan pusat perbelanjaan di Indonesia yang mayoritas diisi brand asing dan menciptakan budaya konsumtif yang tidak produktif.

4. Pahlawan Dihormati, Bukan Dilupakan

Di jalan-jalan kota Iran, terpampang nama dan wajah para syuhada yang gugur dalam perang mempertahankan tanah air. Keluarga mereka dihormati dan dilindungi negara. Bandingkan dengan Amerika, di mana banyak veteran perang hidup menggelandang, terpinggirkan dari sistem jaminan sosial yang mahal dan eksklusif.

Baca juga:  Beredar Pamflet Ridwan Kamil dan Taufik Hidayat dianggap Serius bisa juga Melemahkan

5. Minim Pengemis, Nyaris Tanpa Tunawisma

Menurut Pak Haji Mustofa, pengemis di kota-kota besar Iran sangat jarang ditemui. Pemerintah hadir menjaga harkat hidup rakyatnya. Sementara negara adidaya seperti AS menghadapi krisis tunawisma akut di kota-kota besar seperti New York dan Los Angeles.

6. Budaya Literasi Kuat, Bukan Budaya ‘Scroll’

Di kota suci Qom dan ibu kota Tehran, perpustakaan besar buka hingga malam, dipenuhi anak muda yang membaca filsafat, tafsir, dan sains. Ini kontras dengan budaya populer di negara-negara Barat dan sebagian masyarakat kita, yang lebih akrab dengan Netflix, TikTok, dan scroll tak berujung di media sosial.

7. Film Penuh Nilai vs Hiburan Kosong

Film-film Iran meraih penghargaan di Cannes dan Oscar, bukan karena dana besar, tetapi karena kedalaman cerita, moralitas, dan kekuatan spiritualnya. Sementara banyak film Hollywood justru mengusung kekerasan, seksualitas, dan konsumerisme tanpa nilai luhur.

8. Inovasi Karena Keterbatasan

Iran membuktikan bahwa embargo bukan akhir segalanya. Justru dalam keterbatasan, mereka mampu menciptakan teknologi sendiri. Kreativitas mereka lahir dari kebutuhan, bukan kemewahan. Di negara kapitalis, inovasi seringkali menjadi proyek outsourcing yang tak sepenuhnya berbasis nasionalisme.

9. Kesehatan untuk Semua

Iran menyediakan layanan kesehatan yang murah, bahkan gratis, bagi warganya. Rumah sakit penuh, tetapi terlayani. Di negara seperti Amerika, tanpa asuransi swasta, rakyat biasa bahkan tidak bisa mengakses ruang gawat darurat. Kesehatan menjadi komoditas, bukan hak dasar.

Baca juga:  Cek Ombak Ala Prabowo

10. Transportasi Murah dan Modern

Metro bawah tanah di Tehran melayani jutaan warga setiap hari. Bersih, tepat waktu, dan murah—sekitar Rp3.500 per perjalanan. Harga bensin pun hanya Rp3.000–Rp5.000 per liter, jauh lebih murah daripada Indonesia yang masih mengklaim subsidi namun harganya menembus Rp10.000/liter.

Menutup pembicaraan itu, saya terdiam cukup lama. Kata-kata Pak Haji Mustofa terngiang:

“Iran bukan negeri sempurna. Tapi mereka tahu siapa diri mereka, dan mereka berdiri di atas kakinya sendiri.”

Bagi saya, Iran adalah cermin. Kita tak harus meniru mereka secara utuh. Tapi kita bisa belajar dari kesadaran mereka akan martabat, kemandirian, dan cinta tanah air. Bahwa peradaban bukan hanya soal teknologi tinggi, melainkan soal keberanian menjaga jati diri bangsa.

Mungkin sudah saatnya kita, Indonesia, mulai menata ulang arah pembangunan. Bukan sekadar mengejar pertumbuhan ekonomi, tapi merajut ulang fondasi kebangsaan yang berpihak pada manusia, bukan modal semata.

Salam Hormat,

Asrul Sani Abu
Ketua Bidang Hubungan Internasional APINDO Sulsel
Alumni LEMHANNAS RI