Porosmedia.com, Bandung – Upaya pengelolaan sampah di tingkat kelurahan kembali menunjukkan terobosan penting. Kelurahan Cigondewah Kaler kini mengoperasikan Mesin Motah (Olah Runtah) sebagai solusi nyata penanganan sampah berbasis lingkungan dan kemandirian teknologi.
Setiap hari, mesin tersebut mengolah sekitar 4–5 ton sampah campuran, sebagian besar berupa limbah rumah tangga. Pengolahan dilakukan sejak pukul 08.00 hingga 16.00 WIB secara terus-menerus.
Kepala Seksi Ekonomi, Pembangunan, dan Lingkungan Hidup (Ekbang LH) Kelurahan Cigondewah Kaler, Dewi Waryanti, menyampaikan bahwa mesin Motah membantu mengurangi ketergantungan pada Tempat Pembuangan Akhir (TPA) serta mempercepat proses daur ulang di tingkat lokal.
“Karena mayoritas sampah yang masuk adalah sampah basah dan belum terpilah, volume yang bisa diolah setiap hari berkisar 4–5 ton. Tapi jika sudah kering dan terpilah, kapasitasnya bisa mencapai 8 ton,” jelas Dewi.
Sampah yang telah dibakar menghasilkan residu berupa abu. Menariknya, abu tersebut tidak dibuang, melainkan dimanfaatkan untuk program Buruan SAE (Sehat, Alami, Ekonomis)—model pertanian perkotaan yang mulai berkembang di Cigondewah Kaler.
“Abu sisa pembakaran kami gunakan sebagai pupuk. Bahkan di beberapa wilayah, abu seperti ini sudah dimanfaatkan untuk membuat paving block,” tambahnya.
Inovasi ini tidak berdiri sendiri. Sampah organik seperti sisa makanan dialihkan ke rumah maggot, yaitu tempat budidaya lalat Black Soldier Fly (BSF). Maggot ini berperan penting dalam mengurai limbah organik dan menghasilkan pakan ternak berkualitas.
“Kami punya tim Gober yang secara khusus mengantar sampah organik ke rumah maggot. Tidak ada yang terbuang, semuanya ditangani sesuai jenisnya. Sementara plastik yang masih layak juga dipilah untuk dijual atau didaur ulang,” papar Dewi.
Salah satu keunggulan utama dari mesin Motah adalah kemampuannya beroperasi tanpa bahan bakar minyak atau listrik. Cukup dengan pemantik api sederhana, mesin langsung aktif karena menerapkan sistem pembakaran mandiri.
“Tidak ada biaya operasional untuk bahan bakar. Ini yang membuatnya ramah lingkungan dan sangat cocok diterapkan di wilayah-wilayah padat penduduk seperti kelurahan,” imbuh Dewi.
Dengan luas area sekitar 50 tumbak (kurang lebih 700 meter persegi), lokasi pengolahan cukup memadai untuk aktivitas pemilahan, pembakaran, dan distribusi hasil olahan.
Program pengolahan ini sudah berjalan sejak tahun 2024 dan menjadi bagian dari visi Pemerintah Kota Bandung untuk menekan volume sampah di hulu. Namun, tantangan utama tetap terletak pada kesadaran warga dalam memilah sampah sejak dari rumah.
“Sampah rumah tangga adalah sumber utama. Jika tidak dipilah, maka pengolahan jadi tidak optimal. Kami terus mendorong warga untuk memilah dari dapur: organik ke satu wadah, anorganik ke wadah lain,” tegas Dewi.
Langkah ini diharapkan menjadi model replikasi bagi kelurahan lain di Kota Bandung, terutama dalam menghadapi krisis pengelolaan sampah yang semakin mendesak di wilayah perkotaan.