Ikhtiar, Doa, dan Manfaat: Membangun Kepemimpinan Publik yang Berpihak pada Rakyat

Avatar photo

Porosmedia.com — “Ya Nak, prinsipnya kita harus berusaha dan selalu berdoa agar semua impian kita terwujud…”. Kalimat ini mungkin sederhana, namun memiliki kedalaman filosofi luar biasa tentang arti dari perjuangan, harapan, dan tujuan hidup manusia dalam bingkai sosial. Tak hanya menjadi pedoman pribadi, kalimat tersebut merefleksikan nilai dasar yang seharusnya dimiliki oleh setiap pemimpin di negeri ini.

Krisis Kepemimpinan, dalam konteks kepemimpinan publik, adagium Sunda “Sebaik-baiknya orang adalah yang bermanfaat bagi banyak orang” bukanlah sekadar nasihat moral. Ini adalah tolok ukur yang harus dijadikan indikator keberhasilan kekuasaan. Sayangnya, di tengah kondisi sosial-politik yang terus memburuk, terlalu banyak pejabat yang justru menjadikan kekuasaan sebagai ladang eksklusif, bukan ladang pengabdian.

Kita menyaksikan banyak pejabat dan pemimpin yang sibuk membangun pencitraan, tetapi abai terhadap kepentingan rakyat. Mereka lebih pandai merancang narasi kemenangan politik dibanding menyusun program berbasis kebutuhan masyarakat. Padahal, rakyat tidak butuh pemimpin yang sempurna, mereka butuh pemimpin yang hadir, jujur, dan bermanfaat.

Baca juga:  Hubungan Saya Paling Personal Dengan Si Anjing

Hari ini, terlalu banyak “ikhtiar” dilakukan atas nama pembangunan, tetapi tanpa arah etika dan moral. Kita bisa lihat dalam pengesahan kebijakan yang merugikan publik, proyek-proyek strategis yang menggusur masyarakat kecil, hingga praktik korupsi yang menjalar di berbagai lini. Ikhtiar seperti itu bukanlah jalan menuju kemajuan, melainkan jalan pintas menuju kehancuran kolektif.

Pertanyaannya: Apakah pemimpin hari ini benar-benar berdoa agar ikhtiarnya menjadi manfaat bagi umat, atau justru hanya berdoa agar lolos dari jerat hukum dan caci maki publik?

Pemimpin yang baik tidak perlu menunggu momen bencana untuk menunjukkan keberpihakan. Mereka justru aktif menyentuh akar persoalan sosial secara konsisten: memperjuangkan pendidikan yang adil, membuka akses kesehatan, dan menjamin distribusi ekonomi yang merata. Di sinilah pentingnya orientasi manfaat. Rakyat bukan sekadar objek statistik pembangunan, tetapi subjek yang harus dilibatkan dalam perumusan dan pengambilan kebijakan.

Kepemimpinan seperti inilah yang menjadi dambaan: ikhtiar yang tulus, doa yang ikhlas, dan kebijakan yang berorientasi pada manfaat jangka panjang.

Baca juga:  Pejabat pemerintah Hindia Belanda dan kerabat kerajaan Nusantara berfoto

Namun tentu, perubahan tidak bisa hanya dibebankan pada pemimpin. Masyarakat juga harus mengambil peran—melalui kritik yang sehat, partisipasi yang aktif, dan pengawasan yang konsisten. Demokrasi tidak akan tumbuh jika rakyat hanya diam. Dan manfaat tidak akan hadir jika publik hanya pasif menyaksikan kebijakan tanpa daya tawar.

Di tengah krisis kepercayaan terhadap institusi publik, saatnya kita kembali pada nilai dasar yang arif: “Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” Bukan sekadar retorika, tapi harus diwujudkan dalam tindakan nyata. Itulah kepemimpinan sejati—ikhtiar dan doa yang berpijak pada kebermanfaatan publik.

Jika tidak, maka jabatan hanyalah kursi kosong yang tidak pernah menyentuh denyut nadi rakyat.