Ijazah Asli: Simbol Kehormatan, Bukan Aib yang Disembunyikan

Avatar photo

Oleh: Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes

Porosmedia.com — Sebuah ironi muncul di tengah masyarakat yang sedang memperjuangkan integritas, ketika justru selembar ijazah—yang seharusnya menjadi simbol kehormatan—dianggap memalukan oleh pemiliknya. Bukan hanya sekadar dokumen akademik, ijazah adalah bukti sah perjuangan intelektual seseorang. Maka, pertanyaan retoris yang ramai digaungkan di dunia maya: “Ada Apa Dengan Ijazah?” bukanlah tanpa sebab.

Di tengah fenomena tersebut, Universitas Gadjah Mada (UGM)—salah satu perguruan tinggi tertua dan ternama di Indonesia—kembali mendapat perhatian. Sebagai institusi pendidikan yang lahir dari rahim perjuangan bangsa, UGM telah menapaki usia lebih dari 75 tahun sejak berdiri pada 19 Desember 1949. Tiga pilar Tri Dharma Perguruan Tinggi yang diusungnya—pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat—bukan hanya menjadi semboyan, tetapi identitas moral yang tak bisa ditawar.

UGM bukan sekadar kampus, melainkan kawah candradimuka yang membentuk karakter dan keilmuan generasi bangsa. Sebutan “Kampus nDeso” justru menjadi lambang kerakyatan yang membanggakan, bukan ejekan. Dulu, kampus ini bahkan sempat menumpang di lingkungan Kraton Yogyakarta sebelum berpindah ke kawasan Bulaksumur. Dari sanalah lahir para tokoh besar bangsa.

Baca juga:  Balada PDNS tak kunjung henti, Sudah Diretas, Dicuri datanya, kini diKambing Hitamkan Bolotnya IKN

Bentuk penghargaan terhadap alumnus pun bukan sebatas seremoni wisuda. Banyak tokoh alumni UGM yang namanya diabadikan menjadi nama gedung, ruang kuliah, bahkan pusat riset di dalam kampus. Sebut saja Prof. Roosseno—Bapak Beton Indonesia—yang namanya digunakan pada Gedung SGLC Fakultas Teknik. Ada juga Prof. Herman Johannes, mantan Rektor dan ilmuwan “Celah Timor” yang namanya diabadikan sebagai nama pusat inovasi di fakultas yang sama.

Tak hanya di Indonesia, bentuk penghormatan kepada alumni juga dilakukan di luar negeri. Di Erasmus University, Rotterdam, misalnya, ijazah asli Bung Hatta—yang lulus pada 1932—dijadikan pajangan kehormatan di lobi utama kampus. Bukti bahwa bangsa lain pun mengerti: Ijazah adalah jejak sejarah intelektual, bukan aib yang disembunyikan.

Oleh sebab itu, sungguh ganjil jika di tengah era digital dan transparansi ini, ada individu yang terkesan malu—bahkan enggan—menunjukkan ijazah aslinya. Lebih ironis lagi, jika masyarakat yang mempertanyakan keaslian ijazah tersebut justru diintimidasi, bahkan dipidanakan.

Fenomena “Diploma Challenge” di media sosial beberapa waktu lalu adalah respons publik yang wajar. Mereka secara sukarela menunjukkan ijazah asli masing-masing, sebagai bentuk pernyataan: “Kami bangga dengan perjuangan kami sendiri.” Lalu, bagaimana dengan mereka yang malah alergi pada pertanyaan sederhana: “Ijazahmu mana?”

Baca juga:  Publikom Gama dorong Kedaulatan Komunikasi Digital indonesia

Sebagai pemerhati bidang telematika dan multimedia, saya hanya bisa mengamati dan menilai secara objektif. Namun, kalau sampai para peneliti dan masyarakat yang jujur dibungkam hanya karena mempertanyakan keaslian sebuah dokumen akademik, maka publik pun tak salah ketika mulai menyuarakan tagar seperti #AdiliJokowi atau #MakzulkanFufufafa. Ini bukan lagi soal politik, tapi soal akal sehat kolektif bangsa.

Sebab, pada akhirnya, memiliki ijazah asli itu adalah kebanggaan tertinggi—bukan bahan olok-olok, apalagi alasan untuk merasa hina.

Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes
Pemerhati Telematika, Multimedia, AI & OCB Independen
Rabu, 07 Mei 2025