Bhayangkara adalah Polisi,
Polisi adalah Hoegeng,
Hoegeng adalah Integritas.
Porosmedia.com – Namun di balik nama besar itu, tersembunyi kisah pilu yang tak tercatat dalam berita resmi, tak dicetak dalam buku hukum, tapi hidup dalam luka kecil yang ditanggung dengan diam.
Kisah itu bermula pada suatu pagi di era 1960-an, ketika ketukan pintu menggema di kediaman keluarga Hoegeng di Jalan Prof. Mohammad Yamin. Seorang pria Belanda bernama Michael, sahabat lama keluarga, datang membawa kabar dari masa lalu—dan satu foto yang mengubah segalanya.
Dalam foto itu, seorang pria tampak tersenyum. Wajahnya asing bagi orang lain, tapi tidak bagi Bu Meri, istri Hoegeng. Ia mengenali sosok itu seketika: Paul Cortenbach, ayah kandungnya yang telah hilang sejak Jepang menginvasi Indonesia pada 1942.
Tangis tertahan pecah. Rindu yang lama terkubur kembali merekah. Sejak hari itu, hubungan ayah-anak yang lama terputus dirajut kembali lewat surat-surat, foto, dan kaset suara yang menyeberangi benua. Jarak tak jadi penghalang—hingga satu hari sang ayah mengajak Bu Meri datang ke Belanda.
Biaya perjalanan bukan lagi kendala. Keluarga di Belanda sepakat mengirim tiket pesawat Jakarta-Amsterdam. Tapi saat izin diminta kepada suami tercinta, jawaban yang datang justru menyesakkan:
“Kamu tetap tidak boleh pergi,” ujar Pak Hoegeng datar.
“Mas… ini dari ayah saya. Bukan uang negara,” lirih Bu Meri.
“Saya ini pejabat negara. Tak semua orang mau tahu siapa yang membayar. Mereka akan bertanya, siapa cukong di belakang Bu Hoegeng? Saya mohon… mengerti.”
Dan Bu Meri mengerti. Ia menulis surat kepada sang ayah, memohon maaf karena tak bisa datang. Namun balasan yang datang kemudian adalah amplop bertepi hitam. Sang ayah telah tiada.
Pak Hoegeng memeluk istrinya yang menangis dalam diam. Ia tak menangis, tapi matanya menyimpan sesal. Sebuah keputusan demi nama baik negara telah merenggut satu-satunya kesempatan terakhir seorang anak bertemu ayahnya.
Tahun berganti. Pada 1970, Sri Sultan Hamengkubuwono IX—saat itu Menko Ekuin—meminta pendamping untuk delegasi seni Indonesia ke Belanda. Seseorang yang fasih berbahasa Belanda. Nama Bu Meri disebut.
“Ini tugas negara, Mer. Berangkatlah.”
Dan berangkatlah ia. Menembus dingin musim Desember, Bu Meri berdiri sendirian di hadapan nisan sunyi bertuliskan:
“Rustplaats van Paul Cortenbach – RIP”
Ia tak sempat menggenggam tangan ayahnya. Tapi setidaknya, ia bisa berdiri di sisinya—dalam doa, dalam hening, dalam damai.
Kisah ini bukan sekadar pertemuan yang tertunda. Ia adalah mozaik kehidupan seorang Bhayangkara yang memilih jalan sunyi: tak menerima suap, tak menyalahgunakan kuasa, dan bahkan rela mengorbankan kebahagiaan keluarga demi menjaga satu hal yang kini makin langka: integritas.
Ia bukan malaikat. Ia pernah ragu, pernah menyesal. Tapi itulah yang membuat Hoegeng manusia—dan justru karena itulah ia layak dikenang.
Ia tak pernah menukar harga dirinya dengan pengaruh, tak pernah membarter martabat dengan fasilitas. Ia tahu bahwa citra bisa dibeli, tapi kejujuran harus diperjuangkan. Dan ia memilih kejujuran, bahkan ketika itu harus dibayar dengan air mata perempuan yang paling ia cintai.
Kini, puluhan tahun setelahnya, nama Hoegeng sering muncul di media sebagai simbol ideal: polisi jujur, pemimpin bersih, panutan abadi. Tapi pertanyaannya, masih adakah yang seperti dia?
Masihkah ada Bhayangkara yang bersedia berkata tidak pada sogokan, walau harus mengorbankan mimpi orang tercinta?
Masihkah ada pejabat publik yang rela kehilangan kesempatan pribadi demi menjaga nama institusi dari bisik-bisik fitnah?
Dan masihkah integritas dianggap bernilai, di zaman ketika segala sesuatu bisa dinegosiasikan?
Hari ini, nama Hoegeng telah diabadikan di buku, museum, bahkan jalan raya. Tapi teladannya tak seharusnya berhenti di prasasti. Ia harus hidup dalam tindakan, dalam keputusan-keputusan kecil para Bhayangkara hari ini—di ruang interogasi, di lalu lintas, di laporan keuangan, di sidik jari kebenaran.
Karena menjadi seperti Hoegeng memang berat. Tapi bukan mustahil.
“Integritas itu sunyi. Tapi dalam sunyi itulah terletak cahaya.”
—-
Disarikan dan dibahasakan ulang dari buku “Dunia Hoegeng: 100 Tahun Keteladanan” karya Dr. Harris Turino. Disusun oleh Redaksi Porosmedia.com dalam rangka memperingati Hari Bhayangkara dan sebagai pengingat akan pentingnya kejujuran di tengah tantangan zaman.