Hari Waisak 2025: Menyalakan Lentera Budaya dan Keragaman untuk Cinta Tanah Air

Avatar photo

Porosmedia.com – Hari Waisak yang jatuh pada Kamis, 12 Mei 2025, bukan sekadar peringatan kelahiran, pencerahan, dan wafatnya Siddharta Gautama. Di tengah arus globalisasi dan derasnya sekularisasi ruang publik, Hari Waisak menjadi panggung kontemplatif bagi bangsa Indonesia untuk menakar ulang makna kebudayaan yang sejati dan pentingnya keragaman agama sebagai pilar kebangsaan.

Waisak Bukan Sekadar Ritual, Tapi Manifestasi Nilai-Nilai Budaya

Peringatan Waisak kerap dipersempit dalam dimensi ritual semata. Upacara suci di Candi Borobudur atau vihara-vihara lainnya dipotret dalam bingkai eksotisme dan kesalehan, namun jarang dikupas sebagai ekspresi mendalam dari sistem nilai yang membentuk identitas bangsa. Dalam prespektif kebudayaan yang sejati, Waisak adalah wujud konkret dari prinsip-prinsip dasar peradaban Nusantara: keharmonisan dengan alam, penghormatan terhadap leluhur, dan pencarian kebijaksanaan batin.

Sejarawan Prof. Dr. Anhar Gonggong pernah menekankan:

“Kebudayaan Indonesia dibentuk oleh simpul-simpul pertemuan agama dan kepercayaan. Jika satu agama hilang dari ruang kebudayaan kita, maka kita kehilangan sepotong jati diri bangsa.”

Waisak dalam hal ini menjadi medium perenungan budaya yang mengajarkan kesederhanaan, welas asih, dan jalan tengah — nilai-nilai yang sangat relevan dalam menyembuhkan luka-luka sosial kebangsaan kita hari ini.

Keragaman Agama: Pilar Bukan Ancaman

Alih-alih dijadikan ancaman atau pemecah, keragaman agama justru adalah fondasi dari proyek besar kebangsaan Indonesia. Sejarah telah menunjukkan bahwa interaksi lintas keyakinan telah melahirkan bentuk-bentuk toleransi yang khas di berbagai wilayah: dari musyawarah antarumat di Bali, gotong royong lintas agama di Minahasa, hingga kerjasama antara tokoh agama di Sumatera Barat.

Bhikkhu Sri Pannyavaro Mahathera, pendiri Samaggi Phala Foundation, menyatakan:

“Kami tidak ingin Buddhisme eksklusif. Waisak bukan hanya untuk umat Buddha, tapi untuk semua orang yang ingin hidup lebih sadar, damai, dan penuh cinta kasih.”

Ketika umat Buddha menyalakan lentera, bangsa Indonesia diajak menyalakan kesadaran bahwa Bhineka Tunggal Ika bukan jargon kosong, melainkan jalan hidup berbangsa.

Nasionalisme Inklusif: Dari Meditasi Menuju Aksi

Indonesia hari ini menghadapi tantangan besar: menguatnya politik identitas, polarisasi sosial, dan lunturnya semangat gotong royong. Dalam lanskap ini, peringatan Waisak menjadi pengingat bahwa spiritualitas yang sejati tidak berhenti pada perenungan, tetapi mengarah pada tindakan.

Presiden pertama RI, Soekarno, pernah berkata:

“Bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa menjadikan perbedaan sebagai kekuatan, bukan perpecahan.”

Meditasi bukan pelarian, melainkan latihan untuk membangun kesadaran kolektif. Dalam konteks kebangsaan, ini berarti membangun nasionalisme yang inklusif: mencintai tanah air bukan dengan menyeragamkan keyakinan, tapi dengan menghargai perbedaan.

Pendidikan Multikultural: Warisan Waisak untuk Generasi Muda

Sudah saatnya perayaan-perayaan keagamaan, termasuk Waisak, dimasukkan ke dalam kurikulum kebudayaan dan pendidikan multikultural. Anak-anak bangsa perlu dikenalkan pada nilai-nilai luhur yang terkandung dalam tiap perayaan, bukan sekadar diberi daftar hari libur.

Tokoh pendidikan dan kemanusiaan, Romo Mangunwijaya, pernah menulis:

“Pendidikan tidak boleh hanya mencetak pintar, tapi harus mencetak manusia yang tahu menghargai sesama dalam segala keberagamannya.”

Waisak bisa menjadi titik masuk untuk mengenalkan nilai welas asih, disiplin batin, dan penghormatan terhadap kehidupan kepada generasi muda. Ini adalah warisan budaya yang jauh lebih mendalam daripada sekadar peringatan seremonial.

Lentera Cinta Tanah Air

Di tengah zaman yang serba cepat, Hari Waisak datang seperti lentera yang perlahan menyala dalam gelap: mengingatkan kita bahwa kecintaan terhadap bangsa tidak dibangun melalui slogan kosong, tetapi melalui penghormatan terhadap keragaman budaya dan keyakinan.

Hari Waisak 2025 bukan sekadar hari suci umat Buddha, tetapi kesempatan bagi kita semua untuk menumbuhkan kecintaan terhadap Indonesia: sebuah bangsa yang besar karena perbedaan, bukan meski berbeda.

 

Baca juga:  Satgas Pamtas Statis RI-PNG Yonif 122/TS Gelar Open House Dengan 5 Kampung di Distrik Waris Kabupaten Keerom