Prosmedia.com, Bandung, 31 Juli 2025 – Pada Rapat Terbuka tentang Tantangan Regulasi dan Legalitas di Industri Penyiaran dan Ekonomi Mikro, Ketua KPID, Dr. Adiyana Slamet, S.IP., M.Si., mengungkap sejumlah permasalahan serius dalam dunia penyiaran nasional, khususnya menyangkut perlakuan hukum terhadap Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB) yang telah memiliki izin resmi.
Dalam paparannya, Dr. Adiyana menegaskan bahwa banyak LPB yang justru menjadi korban kebingungan regulasi dan penegakan hukum yang tidak proporsional.
Ketidakjelasan Regulasi Pasca UU Cipta Kerja
Sejak diberlakukannya UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, proses perizinan LPB mengalami pergeseran signifikan. Kewenangan yang sebelumnya dipegang oleh KPID kini berada di tangan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Namun, alih-alih menyederhanakan proses, peralihan ini justru memunculkan banyak pertanyaan dan kebingungan di lapangan.
“Izin ke siapa? Entar bingung dia,” ujar Dr. Adiyana dalam forum tersebut.
Situasi ini berdampak serius terhadap banyak LPB yang sejatinya telah mengantongi izin IPP, namun tetap menghadapi tekanan hukum karena ketiadaan panduan teknis yang jelas dari regulator.
FTA dan OTT: Celah Interpretasi yang Berisiko
Salah satu akar persoalan adalah interpretasi konten free-to-air (FTA) yang kerap disalahpahami. Banyak pelaku usaha mengira konten FTA dapat digunakan bebas tanpa izin, termasuk di sektor perhotelan. Padahal menurut Dr. Adiyana, pemanfaatan FTA dalam konteks komersial tetap wajib tunduk pada aturan hak siar.
Lebih dari itu, platform OTT seperti YouTube dan layanan streaming lainnya yang tidak diatur ketat kini menyedot sebagian besar pasar iklan, membuat lembaga penyiaran konvensional-termasuk LPB berizin-semakin terhimpit.
Ketimpangan Penegakan Hukum: LPB Resmi Jadi Korban
Yang paling memprihatinkan, banyak LPB yang mengalami kriminalisasi langsung tanpa proses administratif terlebih dahulu. Dalam beberapa kasus, pelaku usaha dituduh melanggar UU ITE atau UU Hak Cipta, meskipun sebenarnya telah memiliki izin resmi dan tidak ada unsur niat jahat.
“Banyak pelaku usaha dijerat pidana karena tidak diberi somasi terlebih dahulu,” kata Dr. Adiyana. Ia menekankan bahwa pendekatan represif semacam ini berpotensi membunuh ekosistem penyiaran lokal yang sah secara hukum.
Beberapa pelaku industri bahkan melaporkan bahwa perubahan status siaran FTA menjadi berbayar sering terjadi tanpa pemberitahuan resmi dari pemilik konten maupun regulator, sehingga pelanggaran yang terjadi lebih banyak bersifat administratif daripada kriminal.
Seruan Revisi UU Penyiaran dan Perlindungan terhadap LPB Berizin
Dr. Adiyana mendesak agar UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran segera direvisi, mengingat banyak pasalnya sudah tidak relevan dalam konteks teknologi dan praktik industri saat ini. Revisi tersebut harus:
• Menyediakan kepastian hukum terhadap penggunaan konten FTA di sektor komersial;
• Memperjelas mekanisme izin dan kewenangan antar lembaga;
• Menjamin perlindungan hukum bagi LPB berizin agar tidak dikriminalisasi akibat celah aturan.
Ia juga menekankan perlunya sosialisasi nasional dari Kominfo dan KPID dalam bentuk seminar, surat resmi, atau pelatihan, bukan hanya penyebaran informasi melalui grup WhatsApp.
LPB Adalah Mitra Negara
Dr. Adiyana mengingatkan bahwa LPB yang berizin dan taat aturan bukanlah pelanggar hukum, tetapi mitra negara dalam menghadirkan konten informasi dan hiburan yang sah dan terkontrol.
Ketika pelaku usaha yang telah patuh malah dipidanakan karena regulasi yang tumpang tindih, maka ini bukan hanya bentuk ketidakadilan, melainkan ancaman serius terhadap iklim usaha nasional.
“Jika tidak ada perlindungan yang jelas, industri penyiaran lokal bisa habis digantikan oleh platform asing yang tidak menyumbang pajak dan tidak diawasi negara,” tegasnya.
“LPB berizin bukan pelanggar, mereka adalah tulang punggung penyiaran sah di negeri ini. Lindungi mereka, jangan dikorbankan.”







