Porosmedia.com, Jakarta – Anggota DPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Bambang Soesatyo (Bamsoet), menyambut baik produksi film “Soedirman, Palagan Ambarawa” yang disutradarai Hanung Bramantyo, didukung oleh Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto, Menhan Sjafrie Sjamsoeddin, dan Ketua Umum Pepabri Agum Gumelar. Namun, Bamsoet mengingatkan bahwa film sejarah tidak boleh sekadar menjadi tontonan heroik penuh glorifikasi, melainkan harus mampu menyalakan kembali kesadaran kritis tentang makna perjuangan dan tantangan kebangsaan hari ini.
“Pertempuran Ambarawa bukan hanya cerita keberanian para pejuang, tapi juga cermin betapa beratnya mempertahankan kedaulatan bangsa dari dominasi kekuatan asing. Film ini harus bisa mentransformasi sejarah menjadi kesadaran kolektif — bahwa kemerdekaan bukan hadiah, dan mempertahankannya butuh kecerdasan serta keberanian politik,” tegas Bamsoet usai menerima Ketua Umum Yayasan Panglima Soedirman, Ganang Priyambodo Soedirman, di Jakarta, Jumat (13/6/2025).
Ketua MPR RI ke-15 itu menekankan bahwa sejarah bukan sekadar nostalgia. Di tengah arus globalisasi dan penetrasi budaya asing yang makin masif, bangsa ini membutuhkan fondasi identitas yang kokoh. Sayangnya, pendidikan sejarah kerap dipinggirkan dan digantikan oleh euforia digital yang miskin narasi kebangsaan.
“Film sejarah seperti ini harus menjadi instrumen edukasi dan konfrontasi. Edukasi untuk generasi muda yang makin tercerabut dari akar sejarahnya, dan konfrontasi terhadap amnesia kolektif kita terhadap pengorbanan masa lalu. Kalau hanya jadi tontonan patriotisme palsu, film ini justru jadi cermin kegagalan kita memahami sejarah,” kritik Bamsoet.
Menurut mantan Ketua DPR RI ke-20 tersebut, penting bagi sineas dan negara untuk menyajikan sejarah secara objektif, bukan semata glorifikasi tokoh. Sebab, terlalu banyak narasi perjuangan yang dibingkai sempit oleh elitisme sejarah, seolah-olah perjuangan hanya milik segelintir nama besar.
“Jenderal Soedirman adalah simbol, tapi semangatnya milik rakyat. Film ini harus menyuarakan suara rakyat Ambarawa, para petani, relawan, perempuan, dan pemuda yang ikut angkat senjata demi republik. Kalau tidak, kita hanya memindahkan monumen ke layar lebar tanpa jiwa,” tegas Bamsoet.
Ia menambahkan, karya sinematik seperti “Soedirman, Palagan Ambarawa” harus bisa menjadi cermin bagi tantangan kebangsaan hari ini—dari soal kedaulatan energi, pangan, sampai infiltrasi ideologi dan ketergantungan ekonomi global. Film sejarah semestinya menjadi medium refleksi, bukan eskapisme nasionalisme murahan.
“Jangan kita terlalu sibuk membanggakan sejarah hingga lupa mengaktualisasikan semangatnya. Pertempuran Ambarawa selesai di 1945, tapi palagan baru kita hari ini ada di media, ekonomi, dan politik. Film ini harus menjadi pengingat bahwa bangsa besar bukan yang sibuk mengenang, tapi yang tahu arah perjuangan berikutnya,” pungkas Bamsoet.