Fanita Fransiska Kowsoleea : Musisi Bandung yang Tumbuh dari Ketulusan, Konsistensi, dan Jalan Panjang Panggung-Panggung Kecil

Avatar photo

Porosmedia.com – Fanita Fransiska Kowsoleea bukan sekadar penyanyi panggung. Ia adalah representasi dari perjalanan panjang seniman perempuan yang bertahan, tumbuh, dan terus maju di tengah dinamika industri musik yang keras dan sering kali tidak ramah bagi pekerja seni. Lahir di Cimahi, 17 Maret 1984, Fanita adalah putri bungsu dari pasangan Arthur Kowsoleea, lelaki berdarah Belanda kelahiran Suriname, dan Farida Sumarni, perempuan Jawa dari Kroya yang membesarkan anak-anaknya dengan nilai keteguhan dan kesederhanaan.

Fanita tumbuh di lingkungan keluarga yang hangat, dan di situlah kecintaannya pada musik pertama kali menemukan ruang. Dari kecil ia dekat dengan suara, ritme, dan harmoni. Namun perjalanan memasuki dunia musik secara serius dimulai pada tahun 2004, ketika ia bergabung dengan sebuah band dan mengikuti berbagai festival. Musik menjadi rumah, tetapi kehidupan memaksanya mengambil jeda. Fanita sempat vakum dan beralih ke dunia wiraswasta untuk bertahan hidup sambil mengurus keluarga.

Namun panggilan musik tak pernah benar-benar hilang. Pada 2023, ia kembali ke panggung bersama sang kakak, tampil dari kafe ke kafe, dari event kecil hingga acara pernikahan. Fanita tampil apa adanya—jujur, lepas, dan tulus—karena baginya musik bukan citra, melainkan cara merayakan hidup.

Baca juga:  Global Market America Worldwide SHOP.COM Ramaikan e-commerce Indonesia

Kebangkitan perjalanan kariernya mendapat energi penting ketika ia bertemu seseorang yang sangat berjasa dan memberi ruang serta kepercayaan untuk berkembang. Orang inilah yang mendorong Fanita naik kelas, memperluas jejaring, dan membawanya untuk kemudian dipercaya mengelola Java Bali Stoner Partnership di Jalan Katamso 41 Bandung. Dari situlah pintu-pintu kesempatan terbuka, dan job menyanyi datang lebih stabil.

Namun perjalanan itu tidak selalu indah. Fanita pernah tampil di sebuah kafe dan hanya mendapat partisipasi penonton sebesar Rp2.000. Baginya, itu momen yang lucu sekaligus pahit—potret nyata kerasnya panggung bawah tanah yang selama ini jarang disorot publik. Tapi ia tidak menyerah. Ia memilih tersenyum, menerima, dan terus bernyanyi. Karena musik adalah napas, bukan sekadar penghasilan.

Fanita juga pernah menghadapi pandangan miring, stereotip terhadap penyanyi kafe, hingga komentar-komentar yang ingin meruntuhkan mental. Namun ia memilih menjadikannya bahan bakar untuk bangkit. Ia belajar bahwa seorang perempuan dalam dunia musik harus berdiri tegak: tidak tunduk pada stigma, tidak dikendalikan komentar, dan tidak kehilangan arah hanya karena opini negatif.

Baca juga:  Di Sela Silaturahmi, PT. Zamedia Umumkan Kerjasamanya Dengan Video.Com

Di balik keteguhannya, Fanita memiliki alasan sederhana: ia ingin membanggakan orang-orang terdekat, terutama sang ibu yang selalu hadir dalam doa dan dukungan. Bagi Fanita, keluarga bukan hanya tempat kembali, tetapi fondasi moral yang membuatnya tetap rendah hati sekaligus kuat menghadapi dunia.

Kini Fanita Fransiska Kowsoleea dikenal sebagai penyanyi yang matang secara musikal, profesional dalam bekerja, dan konsisten membangun dirinya tanpa jalan pintas. Kariernya mungkin tidak melompat seperti sensasi viral, tetapi tumbuh melalui proses, karakter, dan ketulusan—nilai yang semakin langka di tengah hiruk-pikuk industri hiburan.

Fanita adalah cermin dari para pekerja seni yang berjuang di jalur sunyi. Ia bergerak perlahan, tetapi pasti. Ia tidak membangun popularitas instan, tetapi membangun fondasi diri. Dan yang terpenting, ia membuktikan bahwa perjalanan panjang bukan tanda keterlambatan—melainkan cara hidup yang penuh integritas.