Fakta-Fakta di Balik Liputan Desa KKN dan Figur Pak Kasmudjo: Koreksi Terlambat yang Perlu Dicermati

Avatar photo

Oleh: Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes

Porosmedia.com – KompasTV akhirnya merilis tayangan revisi dari program investigasi mereka yang sempat menuai kritik publik. Tayangan sebelumnya berjudul “Live – Eksklusif! Penelusuran Desa KKN JkW | Dipo Investigasi” (tayang di YouTube pada link ini) berdurasi 59 menit 30 detik, kini direvisi dengan episode berjudul “Eksklusif! Fakta di Balik Penelusuran Desa KKN JkW di Desa Ketoyan | Sini Gue Kasih Tau” dengan durasi lebih singkat, yakni 26 menit 47 detik (tautan YouTube).

Revisi tayangan ini meskipun terkesan terlambat dan baru dilakukan setelah muncul banyak kritik publik, tetap patut diapresiasi. Banyak komentar di tayangan sebelumnya menilai liputan tersebut sarat dramatisasi, bahkan sebagian menyebutnya menyerupai “sinetron” alih-alih dokumentasi investigatif.

Salah satu tokoh yang menjadi sorotan adalah Sukarno, yang mengaku sebagai anak dari almarhum Pak Jenthu, mantan Kepala Desa Ketoyan. Dalam tayangan awal, Sukarno dikisahkan sangat ingat detail peristiwa di tahun 1985, termasuk insiden jatuhnya lampu petromax yang disebut membuat seseorang bernama JkW ketakutan. Namun, keterangan ini kemudian dianggap tidak sinkron, terutama karena:

Ketidaksesuaian kronologi tahun (1985 vs 1983) sebagaimana telah ditegaskan oleh Dirtipidum Bareskrim pada konferensi pers 22 Mei 2025.

Baca juga:  Apresiasi Komdigi tetapi terus dikritisi agar tetap presisi

Deskripsi yang terlalu mendetail tentang peristiwa yang sulit diverifikasi, seperti posisi tangan JkW dalam kondisi ketakutan.

Asumsi teknis lampu petromax yang menggunakan tekanan api dan minyak tanah, yang secara logika seharusnya menimbulkan kebakaran jika benar-benar jatuh.

Selain narasi Sukarno, tayangan awal juga menampilkan klaim bahwa JkW pernah membeli gitar listrik dari desa terpencil yang disebut belum memiliki jaringan listrik pada tahun 1985. Pernyataan ini tidak sejalan dengan kesaksian Pak Muhuri yang mengantar JkW dengan Vespa sejauh lebih dari 50 km untuk membeli gitar elektrik—narasi yang memunculkan pertanyaan dari sisi logistik dan infrastruktur saat itu.

Lebih jauh, pasca tayangan tersebut, Sukarno terlihat berada di kediaman JkW di Solo dan terekam kamera media yang berjaga di lokasi. Hal ini menambah kecurigaan publik bahwa Sukarno adalah bagian dari narasi yang disusun untuk mendukung klaim-klaim tertentu.

Dalam tayangan koreksi, terdapat beberapa poin penting yang justru memperjelas keraguan publik:

1. Sekretaris Desa Ketoyan, Taufan Bangkit, mengakui bahwa tidak ada catatan resmi mengenai KKN UGM tahun 1985 di desa tersebut, sementara catatan untuk tahun-tahun lain masih lengkap. Ini menimbulkan dugaan bahwa arsip tahun 1985 sengaja “hilang” atau dihilangkan.

Baca juga:  99 Persen  ASN Pemkot Bandung Hadir Tepat Waktu

2. Saat DNB mendatangi rumah JkW di Solo, disebutkan bahwa tokoh tersebut tidak berada di tempat. Namun, tayangan secara tidak sengaja memperlihatkan kemunculan Keasang di rumah yang sama, mengaburkan klaim ketidakhadiran tersebut.

3. Yang paling penting adalah pengakuan dari Pak Kasmudjo yang menyatakan secara konsisten bahwa ia bukan dosen pembimbing akademik maupun pembimbing skripsi JkW—sebagaimana ia sampaikan juga dalam wawancara sebelumnya dengan Balige Academy dan Sentana TV. Klaim ini menegaskan bahwa telah terjadi pemalsuan narasi akademik yang selama ini diyakini publik.

Menjelang akhir tayangan, publik disuguhi fakta mengejutkan: KompasTV tidak diberi akses oleh pihak UGM terhadap dokumen skripsi JkW. Sikap tertutup UGM terhadap akses dokumen publik ini menambah bobot dugaan bahwa ada sesuatu yang ingin disembunyikan. Padahal, sebagai institusi akademik yang menjunjung prinsip keterbukaan dan integritas, UGM seharusnya tidak menyulitkan akses terhadap dokumen yang menjadi hak publik untuk ditelusuri.

Kritik publik terhadap liputan Desa KKN dan figur Pak Kasmudjo menunjukkan betapa pentingnya akurasi narasi sejarah, terlebih bila berkaitan dengan tokoh penting bangsa. KompasTV telah mengambil langkah revisi, namun transparansi dari pihak-pihak terkait, terutama UGM dan lingkaran kekuasaan, masih ditunggu.

Baca juga:  memang 'Bablas' dalam TalkShow banyak terbongkar APDI, PDNs & Menkominfo

Jika skripsi saja tidak bisa diakses, maka publik wajar menuntut transparansi lebih lanjut. Apalagi jika narasi-narasi yang disusun selama ini ternyata mengandung rekayasa.

Biarlah masyarakat menjadi hakim yang objektif, dan biarlah sejarah menilai kejujuran para pemimpinnya.

 

Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes
Pemerhati Telematika, Multimedia, AI & OCB Independen
Yogyakarta, 6 Juli 2025