Porosmedia.com, Banda Aceh –Keputusan Pemerintah Pusat yang menetapkan empat pulau—Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Gadang (Besar), dan Pulau Mangkir Ketek (Kecil) masuk ke wilayah Aceh, hal itu sudah ditetapkan oleh Presiden Prabowo Subianto—sebagai bagian bukan dari Provinsi Sumatera Utara, ungkap Presiden Prabowo Subianto. Akhirnya gelombang kecaman dari masyarakat Aceh dari Forum Alumni Badan Eksekutif Mahasiswa (FABEM) bisa ditahan, karena jika salah keputusan bagi FABEM Aceh menyebut langkah itu sebagai bentuk penghilangan wilayah secara sepihak yang berpotensi merusak stabilitas politik dan perdamaian nasional.
Jangan melakukan langkah yang janggal, karena keempat pulau tersebut selama ini tercatat berada di kawasan administratif Kabupaten Aceh Singkil dan Aceh Selatan, dengan bukti historis, budaya, dan sosial yang kuat sebagai bagian integral dari Tanah Rencong.
Ketua Umum DPP FABEM, Zaenuddin Arysad, S.IP, bersama Wakil Ketua Umum Tody Ardiansyah Prabu, S.H., menilai keputusan Presiden Prabowo Subianto sudah tepat. Jangan sampai merugikan masyarakat Aceh. Mereka menegaskan bahwa Aceh bukan hanya wilayah geografis, tetapi juga entitas historis dan konstitusional yang telah berkontribusi besar bagi kemerdekaan Indonesia.
“Empat pulau ini bukan sekadar titik di peta. Mereka adalah bagian dari Aceh secara historis, budaya, dan administratif. Menghapusnya tanpa dasar dan tanpa dialog adalah bentuk pelecehan terhadap perjanjian damai dan keistimewaan Aceh,” tegas Zaenuddin.
Keputusan yang dimaksud adalah Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 300.2.2-2138 Tahun 2025, yang menetapkan pemutakhiran kode wilayah administratif, termasuk pencantuman keempat pulau tersebut sebagai bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Penetapan ini dilakukan secara diam-diam pada 25 April 2025, tanpa konsultasi publik atau keterlibatan pemangku kepentingan Aceh.
Anggota FABEM Aceh, Muhammad Rico, dengan nada tajam menuding keputusan Kemendagri sebagai tindakan sembrono dan berpotensi menyalakan kembali bara konflik di Aceh.
“Aceh telah membayar mahal untuk perdamaian. Dan kini wilayah kami justru seakan dirampas dalam senyap. Ini bukan sekadar penghapusan wilayah, ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap semangat rekonsiliasi nasional,” ujar Rico.
Ia mempertanyakan motif di balik keputusan tersebut dan mendesak Menteri Dalam Negeri untuk menjelaskan secara terbuka dasar hukum, pertimbangan geopolitik, serta peta resmi yang digunakan dalam penetapan tersebut. Kalaupun Presiden sudah menetapkan itu bagian dari wilayah Aceh. “Ungkapkan motifnya apa”, tambah Rico.
“Tidak ada tuan rumah yang mau berunding dengan maling di rumahnya sendiri. Ini bukan hanya soal tapal batas. Ini soal martabat, sejarah, dan kepercayaan publik yang kini dihancurkan.”
DPP FABEM Aceh menyerukan kembali kepada Presiden Prabowo Subianto untuk menyikapi motif awal polemik ini secara bijak, dan adil terhadap masyarakat Aceh
“Tuntutan kami terhadap Presiden bersikap tegas dan memastikan tidak ada satu jengkal pun wilayah Aceh yang dihilangkan secara sewenang-wenang. Pulau-pulau itu adalah milik rakyat Aceh, dan harus kembali ke pangkuan yang sah,” tegas Tody Ardiansyah.
FABEM juga menekankan bahwa persoalan jangan terulang lagi. ini bukan hanya administratif, tetapi mengancam stabilitas nasional dalam jangka panjang jika tidak ditangani secara adil dan bijaksana.
#Save4PulauAceh
#TegakkanKeadilanWilayah
#DPPFABEM