Porosmedia.com, Bandung — Industri televisi berbayar (Pay TV) di Indonesia tengah menghadapi guncangan besar. Perubahan perilaku konsumen yang kini lebih memilih layanan streaming berbasis internet, dikombinasikan dengan biaya lisensi konten yang semakin tinggi, membuat bisnis TV berlangganan kehilangan daya tarik. Tak hanya di rumah tangga, bahkan sektor hotel dan rumah sakit yang selama ini menjadi andalan operator pun mulai meninggalkan layanan ini.
Menurut Ayi Koswara, CEO FLEXlive, penyedia sistem IPTV dan platform OTT berbasis AI, fenomena ini tidak lagi bisa disebut penurunan—melainkan pertanda masuknya industri TV berbayar ke era sunset.
“Biaya konten makin mahal, tapi pelanggan makin sedikit dan makin tidak loyal. Mereka lebih memilih streaming yang fleksibel, murah, dan sesuai selera. Bahkan hotel dan rumah sakit sekarang banyak yang tidak lagi langganan TV, hanya pasang YouTube dan Smart TV,” ujar Ayi.
1. Perilaku Konsumen Berubah Total: Semua Pindah ke Streaming
Dalam 5 tahun terakhir, pola konsumsi media masyarakat Indonesia mengalami perubahan drastis.
TV bukan lagi pilihan utama.
Saat ini, mayoritas orang lebih memilih mengakses konten melalui:
YouTube – sebagai hiburan, edukasi, hingga berita
Netflix, Disney+, Prime Video – untuk serial dan film
TikTok & Instagram Reels – untuk konten singkat dan hiburan cepat
Platform streaming live seperti Twitch dan YouTube Live
Riset dari We Are Social (2024) menunjukkan bahwa lebih dari 90% pengguna internet Indonesia menonton video online setiap hari, sementara angka penetrasi TV konvensional terus turun.
Konsumen sekarang:
Menonton kapan pun mereka mau (on-demand)
Lewat device sendiri (HP, laptop, smart TV)
Menyesuaikan tontonan dengan selera pribadi
Tanpa terikat pada jadwal siaran atau channel tetap
“Anak muda hari ini mungkin tidak tahu lagi channel TV mana yang menayangkan Liga Inggris. Tapi mereka tahu kapan episode baru Netflix rilis,” ujar Ayi Koswara.
2. Biaya Konten Tidak Seimbang dengan Pasar
Hak siar konten internasional seperti Liga Inggris dan Piala Dunia memakan biaya yang luar biasa besar:
Liga Inggris: hingga USD 120 juta per musim (3 tahun)
Piala Dunia: sekitar USD 80 juta untuk satu bulan
Sementara itu, ARPU (Average Revenue Per User) Pay TV di Indonesia tergolong rendah. Mayoritas pelanggan membayar hanya Rp100.000–Rp150.000 per bulan, itu pun banyak yang hanya menonton saluran FTA (Free to Air).
“Secara struktur bisnis, itu tidak masuk akal. Cost terlalu berat, tapi income terlalu kecil. Kalau tidak ada intervensi model baru, operator pasti tumbang satu per satu,” tambah Ayi.
3. Operator Berguguran, Pasar Bergeser ke Streaming
Deretan operator Pay TV yang sudah tutup atau mundur dari pasar konten premium makin panjang:
●Aora TV
●Orange TV
●Big TV
●Kompas Vision
●Topas TV
●Astro Nusantara
●Mola TV – tidak tutup, namun sejak 2022 tidak lagi memiliki hak siar Liga Inggris dan mengubah fokus ke konten film, dokumenter, dan MMA.
Sebagian besar kolaps karena tidak mampu membayar lisensi konten dan tidak berhasil mempertahankan basis pelanggan yang setia.
4. Hotel dan Rumah Sakit pun Berpaling
Sektor hospitality dan layanan kesehatan yang dulu menjadi pilar Pay TV kini justru ikut beralih:
Hotel hanya mempertahankan 1–2 channel wajib seperti berita atau religi
Sisanya digantikan oleh Smart TV, YouTube, WiFi internal
Rumah sakit beralih ke solusi hiburan berbasis media player, USB, atau jaringan VOD lokal
Kebiasaan tamu hotel dan pasien rumah sakit juga berubah. Banyak dari mereka:
Tidak lagi tertarik dengan channel TV lokal
Justru langsung membuka YouTube, Netflix, atau TikTok dari gadget mereka
Lebih senang menonton serial favorit atau konten hiburan yang bisa mereka pilih sendiri
Itu sebabnya, banyak hotel kini berinvestasi di WiFi kuat dan sistem smart TV ketimbang membayar lisensi puluhan channel yang jarang ditonton.
5. Tren Global: Streaming Kalahkan Pay TV Secara Pendapatan
Berdasarkan laporan dari Ampere Analysis, pendapatan dari layanan streaming di Amerika Serikat akan melampaui pendapatan TV berbayar pada akhir 2024. Meski pelanggan streaming telah lebih banyak sejak 2016, baru kali ini pendapatan benar-benar menyalip. Ini menandakan bahwa model berlangganan fleksibel dan berbasis digital lebih berkelanjutan dibanding model langganan rigid yang dimiliki Pay TV.
6. IndiHome Pun Ubah Haluan
IndiHome, yang sebelumnya dikenal sebagai bundling internet + TV, kini secara bertahap mengarahkan fokusnya ke penjualan layanan internet-only. Sejak penggabungan ke Telkomsel pada 2023, fokus utama adalah kecepatan internet dan stabilitas koneksi, bukan lagi jumlah channel TV.
7. Solusi: Bukan Tambah Channel, Tapi Ubah Model
Menurut Ayi Koswara, satu-satunya cara agar industri ini tetap bertahan adalah:
1. Menawarkan model OTT hybrid yang lebih efisien
2. Revenue sharing yang sehat antara penyedia infrastruktur dan konten
3. Menghapus ketergantungan pada lisensi eksklusif mahal dan berpindah ke open content ecosystem
“FLEXlive sekarang sudah tidak fokus jual konten. Kami membangun sistem IPTV dan OTT yang bisa dipakai hotel, kampus, bahkan pemerintah. Karena sekarang yang dibutuhkan bukan channel banyak, tapi sistem yang fleksibel, efisien, dan tidak ribet urusan lisensi konten,” tutup Ayi.
Tentang FLEXlive
FLEXlive adalah perusahaan teknologi berbasis AI yang memiliki spesialisasi dalam pengembangan sistem IPTV dan platform OTT untuk sektor hospitality, institusi pendidikan, komunitas, dan pemerintah. Dengan pengalaman melayani proyek hotel bintang 3–5, rumah sakit, hingga custom platform OTT untuk lembaga, FLEXlive terus mendorong transformasi digital layanan media dengan pendekatan teknologi efisien dan rendah biaya.