Energi Berdaulat: Jalan Panjang Menuju Indonesia Kuat

Avatar photo

Porosmedia.com – Cita-cita Energi Berdaulat untuk Indonesia Kuat yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto bukan sekadar slogan politik atau jargon pembangunan. Ia adalah agenda strategis yang menyentuh inti kedaulatan bangsa: kemampuan Indonesia untuk berdiri di atas kaki sendiri dalam mengelola sumber dayanya, menghemat devisa, dan menjamin energi bagi rakyat tanpa harus tunduk pada tekanan asing.

Namun di balik idealisme itu, jalan menuju energi berdaulat tidaklah mulus. Tantangannya kompleks — melintasi ranah teknologi, ekonomi, hukum, sosial, hingga lingkungan. Ia menuntut disiplin lintas sektor, ketegasan politik, dan konsistensi moral dari para pemangku kebijakan.

🔹 Energi dan Teknologi: Antara Potensi dan Ketertinggalan

Indonesia menyimpan cadangan energi baru dan terbarukan (EBT) yang melimpah — mulai dari panas bumi, tenaga surya, angin, hingga bioenergi dari sawit, tebu, dan sagu. Potensi itu bisa menjadikan Indonesia salah satu kekuatan energi terbesar di Asia Tenggara.

Namun fakta di lapangan berkata lain. Infrastruktur EBT masih tertinggal, investasi berjalan lamban, dan ketergantungan terhadap impor teknologi belum benar-benar terputus.
Inilah paradoks pembangunan: potensi besar, tetapi kapasitas pemanfaatan kecil.

Jika “Energi Berdaulat” ingin menjadi realitas, maka kemandirian teknologi harus menjadi fondasi. Bukan sekadar membeli mesin, tapi menguasai ilmunya. Bukan sekadar membangun proyek, tapi memastikan transfer teknologi ke tangan anak bangsa.
Tanpa itu, kedaulatan hanya akan berganti rupa — dari ketergantungan minyak impor menjadi ketergantungan pada teknologi asing.

Baca juga:  FK-TANI: Menyatakan Ketersinggungannya atas Ucapan Anggota Komisi III DPR RI Arteria Dahlan

🔹 Ekonomi dan Investasi: Antara Kemandirian dan Ketergantungan Modal

Transisi menuju energi bersih dan berdaulat bukan tanpa biaya. Investasi yang dibutuhkan mencapai ratusan triliun rupiah.
Pemerintah harus mampu menata ulang strategi fiskal dan kebijakan subsidi agar tidak terus bocor ke sektor konsumtif.

Subsidi energi, terutama LPG 3 kg dan BBM bersubsidi, kerap menjadi paradoks kebijakan: populer di publik, tetapi membebani APBN. Reformasi subsidi mutlak dilakukan — bukan untuk mencabut hak rakyat kecil, tetapi untuk mengalihkan dana ke sektor produktif seperti pengembangan EBT dan bioenergi.

Namun reformasi itu harus hati-hati. Energi berdaulat tidak boleh menjadi energi yang menyingkirkan rakyat. Jika rakyat dipaksa menanggung harga mahal atas nama efisiensi, maka kedaulatan berubah menjadi ketimpangan.
Kemandirian ekonomi harus berdiri di atas prinsip keadilan sosial, bukan sekadar neraca fiskal.

🔹 Regulasi dan Tata Kelola: Politik Hukum yang Masih Berbelit

Payung hukum untuk energi nasional sebenarnya sudah kuat — dari Undang-Undang Energi hingga Kebijakan Energi Nasional (KEN).
Namun di lapangan, kebijakan sering kali tersandung oleh tumpang tindih regulasi, lambannya birokrasi, dan kepastian hukum yang lemah.

Investor menuntut stabilitas. Rakyat menuntut transparansi. Pemerintah dituntut menyeimbangkan keduanya tanpa mengorbankan kedaulatan negara.
Penyederhanaan regulasi yang dijanjikan Presiden Prabowo menjadi langkah penting — tapi ia harus diikuti dengan perubahan mental birokrasi, bukan hanya perubahan format dokumen.

Baca juga:  Prof Anton Minardi : Warga sebetulnya ingin tentram dan keberatan atas tidak Transparannya

Tanpa reformasi tata kelola yang nyata, Energi Berdaulat akan terjebak dalam labirin administratif: banyak aturan, sedikit aksi.

🔹 Sosial dan Lingkungan: Keadilan Energi Harus Nyata

Energi berdaulat tidak akan berarti jika hanya menguntungkan korporasi dan investor.
Rakyat di pedalaman Kalimantan, pulau-pulau kecil di Maluku, dan pegunungan Papua harus merasakan manfaatnya secara konkret: listrik yang menyala, harga bahan bakar yang terjangkau, udara yang bersih, dan lapangan kerja yang terbuka.

Di sinilah keadilan energi diuji.
Pembangunan proyek besar sering menimbulkan konflik sosial dan degradasi lingkungan. Tanah adat, lahan pertanian, dan hutan sering menjadi korban atas nama kemajuan.
Padahal, kedaulatan sejati bukan sekadar menguasai sumber daya, tapi memastikan rakyat di sekitar sumber daya itu hidup lebih baik.

Presiden Prabowo sudah menegaskan bahwa pembangunan nasional harus berlandaskan keadilan dan kemandirian. Pernyataan itu harus diwujudkan dalam setiap kebijakan energi — agar proyek tidak sekadar berjalan, tetapi juga berperikemanusiaan.

Menyatukan Semua Pilar: Dari Slogan Menjadi Gerakan Nasional

Cita-cita Energi Berdaulat untuk Indonesia Kuat akan berhasil jika empat pilar utama dijalankan dengan konsisten:

1. Kepemimpinan Tegas dan Reformasi Struktural
Presiden harus berani memotong rantai birokrasi, memangkas izin yang berbelit, dan memastikan kebijakan energi tidak dikendalikan oleh kepentingan jangka pendek.

Baca juga:  D'Lingga Coffee, Perpaduan Sempurna Antara Kopi Berkualitas dan Keindahan Alam

2. Fokus pada Energi Baru dan Bioenergi Nasional
Potensi geotermal, surya, dan bioenergi harus menjadi tulang punggung kemandirian energi — bukan pelengkap proyek seremonial.

3. Sinergi SDM dan Investasi Domestik
Anak bangsa harus menjadi pelaku utama, bukan sekadar penonton. Negara wajib memastikan transfer teknologi berjalan dan nilai tambah energi tetap di dalam negeri.

4. Keadilan Energi untuk Semua
Energi berdaulat harus berarti akses energi yang merata, bersih, dan terjangkau — agar rakyat tidak hanya jadi objek, tapi subjek dalam pembangunan.

Kedaulatan Energi, Cermin Kedaulatan Bangsa

Kedaulatan energi adalah cermin sejati dari kedaulatan bangsa.
Bangsa yang mampu mengatur sumber dayanya sendiri, membiayai kebutuhannya tanpa hutang berlebih, dan memastikan rakyatnya sejahtera adalah bangsa yang benar-benar merdeka.

Presiden Prabowo telah meletakkan arah besar yang benar: kemandirian energi untuk kekuatan nasional.
Namun keberhasilan visi ini tidak akan ditentukan oleh rapat kabinet, melainkan oleh keberanian politik untuk membongkar kebiasaan lama — mental impor, birokrasi lamban, dan regulasi tumpang tindih.

Energi Berdaulat bukan hanya tentang minyak, gas, dan listrik. Ia adalah tentang martabat bangsa — apakah Indonesia mau terus bergantung, atau berani menjadi tuan di rumah sendiri.