Oleh: Dahlan Iskan
Porosmedia.com — Diktator ternyata sudah menemukan cara untuk mengatasi kelemahannya. Ada yang belum. Sebaliknya, demokrasi juga masih mencari jalan keluar atas kelemahannya. Ada yang sudah.
Kesimpulan itu lahir dari obrolan santai bersama para mahasiswa Indonesia di kota kecil Rizhao, Provinsi Shandong, Tiongkok.
Siapa sangka, di kota sekecil Rizhao pun, sudah ada 20 mahasiswa asal Indonesia. Termasuk Della, gadis embun dari Muncar, Banyuwangi—putri seorang sopir yang sedang menuntut ilmu di negeri tirai bambu.
Kami duduk-duduk di atas pasir pantai setelah menyaksikan matahari terbit dari balik lautan. Rizhao memang dikenal sebagai salah satu tempat terbaik di Tiongkok untuk melihat fajar menyingsing. Letaknya hanya dua jam perjalanan tol dari Qingdao—kota pelabuhan yang juga terkenal dengan produksi birnya.
Pancingan diskusi datang dari dr. Jagaddhito Probokusumo, seorang dokter jantung yang sedang memperdalam ilmunya di RS Pusat Jantung Rizhao. Ia akan berada di sana selama setahun, hingga November nanti.
Ia bertanya, “Mengapa Tiongkok bisa begitu maju? Bisa membuat kota sekecil ini begitu bersih dan tertata rapi? Apakah karena sistem diktator yang mereka anut?”
Pertanyaan itu menarik. Memang harus diakui, kemajuan Tiongkok tidak bisa dilepaskan dari model kepemimpinan sentralistik yang mereka jalankan. Tapi diktator saja tidak cukup. Ada sisi lemah yang fatal dari sistem itu: kecenderungan semena-mena.
Idealnya, tentu: diktator yang baik hati. Tapi kita semua tahu, betapa langkanya sosok seperti itu. Singapura beruntung pernah memilikinya—Lee Kuan Yew.
Tiongkok tidak bertumpu pada figur semata, melainkan pada sistem. Sistem itulah yang menjadi peredam potensi semena-mena dari kediktatoran. Sistem itu bernama Partai Komunis Tiongkok.
Meski sekretaris jenderal partai memiliki posisi dominan, ia tidak bisa mengabaikan lembaga tertinggi pengambil keputusan: politbiro. Dulu beranggotakan sembilan orang, lalu disederhanakan menjadi tujuh, dan kini ada ide untuk menyusutkannya lagi menjadi lima.
Partai menjaga ketat disiplin internalnya. Menjadi anggota tidak mudah. Jumlahnya pun dibatasi: hanya 5 persen dari total populasi. Anggota Partai Komunis Tiongkok “hanya” sekitar 75 juta dari 1,3 miliar penduduk.
Untuk jadi anggota saja harus melalui seleksi ketat, tes berlapis, dan pendidikan partai yang tidak mudah dilalui. Apalagi jika ingin menjadi pengurus—maka jenjang penilaian dan pendidikan semakin tinggi.
Singkatnya, meritokrasi ditegakkan sejak dari partai, lalu menjalar ke sistem pemerintahan. Hanya yang benar-benar berprestasi, kapabel, dan terbukti mampu yang bisa naik jabatan.
Contoh konkret: Presiden Xi Jinping. Sebelum sampai ke puncak kekuasaan, ia diuji di berbagai posisi. Pernah menjadi Gubernur Fujian, dengan capaian pertumbuhan ekonomi 16 persen selama 10 tahun. Lalu diuji lagi di Zhejiang—dua periode, dengan pertumbuhan 20 persen selama satu dekade. Kemudian ia menjabat sebagai Sekretaris Partai di Shanghai, kota metropolitan terbesar.
Begitu pula Li Keqiang. Kiprahnya dimulai dari Dalian, kota pesisir yang semula kumuh, lalu ditata menjadi kota cantik dan model rehabilitasi urban nasional. Sebelum jadi Perdana Menteri, ia “dites” sebagai Gubernur Liaoning dan membangun jalan tol pertama di Tiongkok—menghubungkan Shenyang ke Dalian. Jalan tol itu kemudian jadi cetak biru nasional.
Ada pula Bo Xilai, tokoh yang pernah bersinar. Ia sukses membangun Chongqing hingga jadi kota maju dan modern. Banyak yang menjagokan ia sebagai calon presiden—bukan Xi Jinping. Namun, Bo gagal dalam “tes” terakhir. Istrinya terlalu ambisius, juga terlalu glamor. Kini keduanya menjalani hukuman seumur hidup.
Tiongkok berhasil meredam sisi gelap diktator dengan sistem meritokrasi. Sementara kita, belum menemukan cara efektif untuk mengatasi sisi gelap demokrasi kita: populisme, korupsi berjamaah, politisi instan.
Seorang mahasiswi jurusan e-commerce—mungkin dari Bogor, atau Batak Karo bermarga Ginting, muslimah—bertanya, “Kalau begitu, kenapa Korea Utara yang juga diktator, tidak bisa maju?”
Pertanyaan itu saya lempar balik ke mereka.
Jawabannya datang cepat: “Karena Korea Utara menganut sistem dinasti.”
Ya, diktator dinasti. Di sana belum ada sistem untuk mengatasi kelemahan diktator. Seperti kita yang belum menemukan sistem untuk mengatasi cacat bawaan demokrasi.
Matahari kian meninggi. Waktunya sarapan. Saya ingin burrito khas Rizhao lagi—buatan sendiri, tentu, dengan tambahan cakalang dan udang ebi.







