Duhai Pasangan, Ketika Rumah Tangga Diuji: Dukunganmu Lebih Berarti daripada Tudinganmu

Avatar photo
Ayi Koswara  CEO FLEXlive & Inisiator Balanced Path Academy

Porosmedia.com — Saat seorang pria sukses, dunia seolah berlomba memberi ucapan selamat kepada sang istri. “Hebat, di balik pria sukses pasti ada wanita hebat,” begitu kata mereka. Tapi, ketika pria itu jatuh, kehilangan pekerjaan, atau gagal secara ekonomi, tak banyak yang bertanya: Apakah ia sedang berjuang sendirian? Apakah ada pasangan yang tetap bersamanya, bukan hanya saat senang tapi juga saat susah?

Fenomena ini menunjukkan satu hal standar ganda yang sering tidak kita sadari. Sukses dianggap hasil kerja sama, tapi kegagalan dianggap kesalahan individu—terutama suami. Narasi ini bukan hanya tidak adil, tapi juga berbahaya bagi ketahanan rumah tangga.

Narasi yang Timpang

Masyarakat kita, terutama dalam konteks rumah tangga, masih terjebak pada label-label yang terlalu cepat dilekatkan. “Kalau suami rezekinya seret, pasti ada yang salah dengan perlakuannya ke istri.” Atau sebaliknya, “Istri kurang bersyukur makanya suami susah rezekinya.” Pernyataan-pernyataan ini terlihat religius tapi sejatinya manipulatif. Ia menempatkan masalah pada pundak satu pihak, bukan sebagai persoalan bersama.

Baca juga:  Orang Tua siswa Geruduk Gedung Sate, minta Solusi Penahanan Ijasah Sekolah

Padahal, kesulitan ekonomi, stres, dan tekanan hidup adalah ujian hidup yang tidak pandang gender. Laki-laki pun bisa lelah. Laki-laki pun bisa bingung. Tapi celakanya, ketika mereka diam, mereka dianggap tidak peduli. Padahal bisa jadi diamnya karena tak lagi kuat menangis.

Suami Bukan Superhero, Istri Bukan Penonton

Dalam banyak kasus, suami sering kali memikul beban diam-diam. Ia mencoba terlihat kuat, menyembunyikan guncangan, sambil berharap istrinya bisa menjadi tempat berlabuh, bukan tempat menghakimi.

Di sinilah peran seorang istri tidak bisa diremehkan:

Sebagai penyemangat saat suami mulai goyah.

Sebagai penolong yang tidak menuntut tetapi mendampingi.

Sebagai pendengar yang tidak cepat menilai.

Sayangnya, dalam praktiknya, banyak istri yang justru ikut terombang-ambing dalam emosi dan mengabaikan fungsi utamanya sebagai “tim inti” dari perjuangan rumah tangga. Sebaliknya, ada pula suami yang keras kepala, gengsi membuka diri, dan menjadikan istri hanya sebagai penanggung beban domestik, bukan mitra sejati.

Rumah Tangga Adalah Kolaborasi, Bukan Kompetisi

Rezeki yang sempit bukanlah vonis dosa. Tidak selamanya itu disebabkan oleh salah satu pihak. Bisa jadi, yang kurang justru kesalingan dalam batin, komunikasi yang jujur, dan keterbukaan terhadap kondisi.

Baca juga:  Kalau Bukan Keturunan Nabi, Mengapa Mereka yang Jadi Raja?

Sebaliknya, ketika masing-masing sibuk saling menyalahkan, rumah tangga justru menjadi tempat yang paling menyesakkan. Seharusnya, rumah adalah tempat pulang, bukan medan perang. Saling menyalahkan hanya akan memperdalam jurang, membuat masalah makin sulit diselesaikan.

Pertanyaan untuk Introspeksi

Daripada saling tuding, lebih baik duduk bersama dan jujur menjawab pertanyaan ini:

Suami: Apakah aku terlalu menutup diri? Apakah egoku menghalangi bantuan dari pasangan?

Istri: Apakah aku benar-benar menjadi pasangan yang mendukung atau hanya menambah tekanan?

Kita berdua: Apakah kita masih melihat satu sama lain sebagai teman seperjuangan?

Jika jawabannya jujur, maka pertengkaran bisa berubah jadi pelukan. Ujian bisa berubah jadi titik balik.

Rezeki Itu Bukan Sekadar Angka

Kita terlalu sering menyamakan keberhasilan dengan uang. Padahal, rezeki bisa berupa:

Kesehatan pasangan.

Anak-anak yang salih/salihah.

Keharmonisan batin.

Hati yang tenang, bahkan ketika dompet sedang tipis.

Yang menggerogoti rezeki bukan cuma utang atau kurangnya pemasukan, tapi juga sikap negatif, omongan kasar, tekanan psikis, dan keputusasaan.

Closing Point:

Baca juga:  Kalah dari Irak, terkena Frank dari Apple

Rumah tangga adalah proyek seumur hidup. Saat suami atau istri sedang berada di titik terendah, jangan sibuk mencari siapa yang salah. Cari siapa yang masih mau bertahan.

Karena dalam badai, bukan rumah termewah yang bertahan, tapi yang pondasinya paling kuat:
dukungan, kepercayaan, dan komunikasi.

Ayi Koswara
CEO FLEXlive
Inisiator Balanced Path Academy