Porosmedia.com, Nabire, Papua Tengah –Kepala Suku Besar (KSB) Wate Kabupaten Negeri, Otis Monei, S.Sos., M.Si., bersama masyarakat adat Kampung Nifasi dan didampingi kuasa hukum, Sergius Wabiser, S.H., pada Kamis (27/11/2025) mendatangi Gedung DPR Papua Tengah untuk menyampaikan laporan resmi terkait dugaan pelanggaran kesepakatan kerja sama serta aktivitas pertambangan tanpa izin yang diduga dilakukan oleh seorang warga negara asing (WNA) berinisial L di wilayah adat Musairo–Merago.
Rombongan masyarakat diterima langsung oleh Wakil Ketua IV DPR Papua Tengah, John NR. Gobay, yang menegaskan bahwa lembaganya akan memproses laporan tersebut melalui mekanisme resmi sesuai peraturan perundang-undangan.
Dalam forum resmi tersebut, KSB Wate menjelaskan bahwa hubungan kerja sama antara masyarakat adat dan pihak WNA telah berlangsung kurang lebih sembilan tahun. Pada awal kesepakatan, masyarakat disebut dijanjikan pembagian hasil sebesar 10 persen dari aktivitas pertambangan.
Namun, KSB Wate menilai bahwa kesepakatan itu tidak pernah dijalankan sebagaimana mestinya.
“Kesepakatan awal tidak pernah dipenuhi. Masyarakat hanya menerima sejumlah uang dalam jumlah tidak seberapa dan tidak diberikan secara teratur,” ujar Otis Monei.
Masyarakat menilai kondisi tersebut menimbulkan ketidakpastian, karena tidak diikuti laporan transparan maupun mekanisme pertanggungjawaban yang jelas.
Selain permasalahan bagi hasil, masyarakat juga menyampaikan kekhawatiran mengenai aktivitas pertambangan yang diduga dilakukan tanpa izin resmi. Informasi awal yang dihimpun masyarakat serta koordinasi awal dengan pihak teknis pemerintah menunjukkan belum ditemukannya kelengkapan legalitas formal yang wajib dimiliki pelaku usaha pertambangan.
“Jika benar tidak ada izin, lalu kembali memasuki blok lain, tentu ini menimbulkan keresahan bagi masyarakat adat sebagai pemilik hak ulayat,” jelas KSB Wate.
Karena itu, masyarakat meminta pemerintah provinsi serta aparat penegak hukum memastikan status legal seluruh aktivitas di wilayah Merago.
Menanggapi laporan masyarakat, Wakil Ketua IV DPR Papua Tengah menyampaikan bahwa lembaga legislatif daerah akan mendorong sejumlah langkah tegas, di antaranya:
1. Meminta Kantor Imigrasi menelusuri status kewarganegaraan, izin tinggal, dan legalitas keberadaan WNA tersebut.
2. Mengirim surat kepada Presiden RI, Prabowo Subianto, untuk meminta perhatian terhadap dugaan adanya pihak tertentu yang diduga memberi perlindungan terhadap aktivitas nonprosedural.
3. Mendorong percepatan pendirian Kantor Imigrasi di Nabire guna memudahkan pengawasan WNA.
4. Meminta aparat penegak hukum menginventarisasi seluruh WNA yang bekerja di Nabire dan melakukan penindakan apabila ditemukan pelanggaran prosedural.
“Kalau tidak ada dokumen perizinan yang sesuai aturan, tentu perlu diamankan untuk diproses lebih lanjut,” ujar John NR. Gobay.
Dalam penyampaian aspirasi, tampak pula keluhan mengenai sejumlah anak dari wilayah adat yang dibawa ke Jakarta dengan janji pendidikan. Namun, menurut laporan masyarakat, anak-anak tersebut tidak mendapatkan fasilitas sebagaimana dijanjikan.
“Ini bukan sekadar persoalan administrasi, melainkan persoalan moral yang menyangkut keselamatan dan masa depan anak-anak,” tegas KSB Wate.
Masyarakat meminta agar aspek ini turut menjadi bagian dari proses pemeriksaan resmi pemerintah.
Kuasa hukum masyarakat adat, Sergius Wabiser, S.H., menyampaikan bahwa laporan polisi telah dibuat dan pemeriksaan lanjutan dijadwalkan Senin mendatang di Polres setempat.
Menurutnya, terdapat sejumlah dugaan pelanggaran yang harus diuji melalui proses hukum, antara lain:
Dugaan wanprestasi atau penipuan terkait kesepakatan 10 persen.
Dugaan aktivitas pertambangan tanpa izin (IUP/OP).
Dugaan pengambilan sumber daya alam tanpa persetujuan negara dan masyarakat adat.
Kuasa hukum menegaskan bahwa seluruh dugaan tersebut akan dibuktikan melalui proses penyelidikan resmi.
“Kami memberi kesempatan kepada pihak terkait untuk menunjukkan itikad baik. Jika tidak, kami akan melanjutkan seluruh proses hukum sampai tuntas,” ujarnya.
Dalam forum DPR, juga disampaikan kekhawatiran atas kemungkinan masuknya kelompok masyarakat dari suku lain yang diduga memberikan perlindungan kepada aktivitas pertambangan yang dipersoalkan.
KSB Wate menegaskan bahwa wilayah Musairo–Merago merupakan hak ulayat masyarakat Wate, sehingga keterlibatan suku luar dikhawatirkan dapat memicu gesekan horizontal.
“Kami ingin situasi tetap damai. Jangan sampai kepentingan pihak luar justru menciptakan konflik antar sesama orang Papua,” tegasnya.
Menutup penyampaian aspirasi, KSB Wate menegaskan bahwa masyarakat tetap membuka ruang dialog, tetapi tidak akan tinggal diam apabila hak-hak adat tidak dihormati.
DPR Papua Tengah menyatakan akan menindaklanjuti laporan tersebut melalui koordinasi lintas lembaga, termasuk pemerintah daerah, aparat penegak hukum, dan instansi teknis pertambangan serta keimigrasian.
Langkah ini diharapkan mampu menghadirkan kepastian hukum dan penyelesaian menyeluruh atas persoalan tambang di wilayah Merago.







