Dualisme PWI dan Jalan Terjal Rekonsiliasi Pers Indonesia

Avatar photo

Porosmedia.com – Konflik internal yang tengah melanda Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) bukan sekadar silang pendapat biasa dalam tubuh organisasi. Dualisme kepemimpinan yang kian tajam antara kubu Hendry Ch Bangun (hasil Kongres Luar Biasa Jakarta) dan kubu Zulmansyah Sekedang (hasil Kongres Bandung) kini memasuki babak baru yang jauh dari kata sejuk. Ketegangan semakin meningkat ketika PWI Jabar versi Hendry menunjuk Danang Donoroso sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Ketua PWI Jawa Barat dan melakukan pengukuhan Plt untuk sejumlah daerah. Sebaliknya, Ketua PWI Jabar versi Bandung, Hilman Hidayat, menolak keras langkah ini, menganggapnya ilegal dan tidak konstitusional.

Kita menyaksikan sebuah situasi yang mencerminkan krisis etika organisasi. Penunjukan Plt secara sepihak, tanpa mandat musyawarah anggota, bukan hanya melanggar aturan main yang termaktub dalam PD/PRT PWI, tapi juga membajak semangat demokrasi internal yang seharusnya menjadi tulang punggung organisasi profesi wartawan. Bahkan Ketua PWI Bekasi Raya, Ade Muksin, menyebut ini sebagai “penyesatan organisasi” dan “pembodohan terhadap anggota.”

Ade Muksin tidak berlebihan. Sebab bila merujuk pada Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga PWI, tidak dikenal mekanisme penunjukan Plt oleh faksi pusat tanpa legitimasi anggota daerah. Langkah tersebut bukan solusi, melainkan bara baru dalam upaya rekonsiliasi yang justru sedang dibangun secara nasional melalui fasilitasi Dewan Pers.

Baca juga:  Cairan AMR Hasil Inovasi Kodim 0617/Majalengka, Masuk Pantai Santolo

Ironisnya, rekonsiliasi tersebut sejatinya sudah menemui titik terang. Pada 13 Juni 2025, di kantor Dewan Pers, kedua pihak menandatangani Kesepakatan Jakarta. Disaksikan langsung oleh Ketua Dewan Pers Komaruddin Hidayat, kedua kubu menyepakati dibentuknya Steering Committee (SC) dan Organizing Committee (OC) untuk menyelenggarakan Kongres Persatuan paling lambat 30 Agustus 2025. Maka, pertanyaan krusial muncul: mengapa di tengah proses penyatuan, justru dilakukan pengukuhan Plt yang mengancam kesepakatan?

Ada dua kemungkinan di balik manuver ini. Pertama, adanya kepentingan politik internal yang lebih mementingkan dominasi struktur daripada penyatuan idealisme. Kedua, kegagalan memahami semangat rekonsiliasi yang menuntut kesabaran dan penundaan ego kelompok demi marwah organisasi.

Padahal, jika merujuk pada konteks yang lebih luas, konflik PWI ini telah menjadi perhatian nasional. Dewan Pers, lembaga yang seharusnya menjaga independensi dan profesionalisme pers, merasa perlu turun tangan karena menyadari dampak negatif dari fragmentasi ini terhadap ekosistem jurnalistik Indonesia. Media massa yang terpecah, pengurus daerah yang bingung menentukan legitimasi, dan publik yang kehilangan kepercayaan adalah bahaya nyata.

Baca juga:  Donald Trump marah besar….!!!

Dalam studi-studi akademik tentang organisasi profesi, seperti yang ditulis oleh Henry Mintzberg (1979) dan dikembangkan oleh Charles Perrow (1986), stabilitas internal dan legitimasi demokratis adalah dua indikator vital bagi keberlangsungan organisasi. Ketika dua hal ini runtuh, maka organisasi kehilangan fungsi representatifnya, dan hanya tinggal struktur kosong yang digunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok.

PWI harus belajar dari sejarah organisasi lain yang hancur karena konflik internal. Lembaga profesi seperti IDI (Ikatan Dokter Indonesia) dan IAI (Ikatan Apoteker Indonesia) pun pernah bersitegang, namun tidak sampai menabrak konstitusi secara frontal seperti ini.

Langkah yang harus ditempuh kini jelas: tegakkan kembali konstitusi organisasi. Stop pen