Porosmedia.com, Bandung – Pemanfaatan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) kembali digaungkan sebagai solusi cepat dan strategis bagi problematika perkotaan. Ketua DPRD Kota Bandung, H. Asep Mulyadi, menyampaikan harapan besar terhadap kerja sama strategis antara Pemerintah Kota Bandung dengan Institut Teknologi Bandung (ITB), dalam pemanfaatan AI untuk pengembangan kota.
Pernyataan ini disampaikannya usai menghadiri pemaparan dari pihak ITB di Gedung ITB Innovation Park, kawasan Bandung Technopolis, Gedebage, Rabu (11/6/2025). Sejumlah tokoh legislatif juga turut hadir, termasuk Ketua Komisi I DPRD Kota Bandung Radea Respati, Ketua Komisi IV Iman Lestariyono, Ketua BK DPRD Soni Daniswara, dan Ketua Bapemperda Dudy Himawan.
“Dengan pemanfaatan AI, maka bisa mempercepat dan mempermudah masalah-masalah di Kota Bandung. Jadi sebesar apapun masalah pasti ada solusinya,” ujar Asep Mulyadi.
Namun, benarkah teknologi AI bisa menjadi “obat mujarab” atas kompleksitas persoalan kota seperti kemacetan, banjir, layanan publik yang buruk, hingga ketimpangan digital.
Pernyataan Ketua DPRD mengindikasikan keyakinan tinggi terhadap potensi teknologi, terutama dalam hal efisiensi birokrasi dan pengambilan keputusan berbasis data. Ia mencontohkan analisis revisi peraturan daerah sebagai sektor yang bisa terbantu AI untuk mengidentifikasi kebijakan yang sudah tidak relevan.
Namun pengamat kebijakan publik dari UNPAD, Dr. Eko Bawono, mengingatkan bahwa optimisme ini harus dibarengi dengan kesiapan hukum, anggaran, dan kualitas sumber daya manusia.
“Jangan sampai AI hanya menjadi jargon tanpa implementasi yang matang. Infrastruktur data kita belum terintegrasi, bahkan sistem e-government masih terfragmentasi,” tegas Eko.
Asep juga menyatakan bahwa kehadiran kampus besar seperti ITB harus memberi kontribusi konkret bagi pelayanan publik. Tetapi kerja sama semacam ini patut dipertanyakan: apakah ITB sekadar menjadi konsultan akademik, atau benar-benar menjadi mitra strategis dengan peta jalan jangka panjang?
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa berbagai proyek kerja sama akademik sebelumnya sering kali berhenti di tahap seminar atau pilot project, tanpa keberlanjutan institusional. Pemerintah kerap kali gagal mengadopsi hasil riset karena alasan teknis dan politis.
Kang Asmul menyebut bahwa pemanfaatan AI memerlukan proses penyusunan regulasi dan payung hukum. Namun hingga kini, belum ada inisiatif konkret dari DPRD untuk menyusun Perda yang menata penggunaan teknologi berbasis AI, terutama yang menyentuh aspek privasi data warga, transparansi algoritma, dan akuntabilitas penggunaan anggaran.
Di sinilah DPRD perlu mengambil peran lebih substantif. Bukan hanya menyambut AI sebagai ide, tetapi juga membentengi dampaknya terhadap hak-hak sipil, keterbukaan informasi publik, dan kedaulatan data.
Pemanfaatan AI di Kota Bandung harus diposisikan sebagai alat bantu, bukan juru selamat. Tanpa reformasi birokrasi, perbaikan infrastruktur dasar, dan komitmen politik yang kuat, teknologi ini hanya akan menjadi etalase digital tanpa isi.
Alih-alih memuja AI sebagai penyelamat, publik butuh roadmap yang jelas, partisipasi masyarakat dalam penyusunan kebijakan digital, serta pengawasan ketat dari lembaga legislatif.
“AI harus dimaknai sebagai alat demokratisasi data dan pelayanan publik. Kalau hanya untuk menutupi inefisiensi birokrasi dengan aplikasi-aplikasi ‘wah’, itu namanya pemolesan, bukan perbaikan,” pungkas Eko Bawono.
Kerja sama ITB dan Pemkot Bandung dalam AI layak diapresiasi sebagai langkah awal. Tapi masyarakat juga harus tetap kritis terhadap retorika teknologi yang menjauhkan isu sosial dari pusat perhatian.
Apakah AI akan menyelesaikan problem Kota Bandung, atau hanya menjadi alat pencitraan politik dan proyek proyek mercusuar yang tidak menyentuh akar masalah? Jawaban sesungguhnya bergantung pada keberanian legislatif dan eksekutif untuk menempatkan rakyat, bukan teknologi, sebagai pusat pembangunan.