Porosmedia.com – Berbagai tantangan yang melilit Kota Bandung—dari kemacetan, disparitas sosial, pasar yang terpinggirkan, hingga tantangan digitalisasi pelayanan publik—kabar tentang capaian akademik Wakil Wali Kota Bandung, Erwin, yang meraih gelar doktor dari Universitas Islam Nusantara (Uninus) patut diapresiasi. Namun, lebih dari sekadar seremoni akademik, publik menantikan bagaimana gelar tersebut akan bermetamorfosis menjadi kebermanfaatan yang konkret: ilmu yang membumi dan amanah yang dijalankan dengan cemerlang.
Disertasinya bertajuk “Manajemen Proyek Profil Pelajar Pancasila pada Siswa Sekolah Menengah Negeri di Kota Bandung”—yang menelaah secara fenomenologis implementasi nilai-nilai Pancasila di SMAN 16 dan SMAN 20—mengangkat persoalan mendasar dalam dunia pendidikan: bagaimana nilai luhur bangsa diterjemahkan dalam praktik pendidikan sehari-hari. Dengan predikat cumlaude dan IPK 3,81, Erwin telah membuktikan bahwa kerja intelektual dan birokrasi bukan dua kutub yang saling menegasikan.
Namun, pertanyaan kritisnya kini bukan lagi seberapa tinggi ia meraih, melainkan sejauh mana ilmunya mampu membentuk kebijakan publik yang berakar pada nilai dan berdampak langsung pada masyarakat kecil di Kota Bandung.
Sejarah bangsa ini menyimpan banyak nama yang bergelar tinggi namun terjebak dalam kubangan elitisme. Ilmu menjadi ornamen, bukan kompas moral. Dalam konteks ini, pengakuan Erwin atas pentingnya ilmu sebagai bagian dari amar ma’ruf nahi munkar, dan niatnya menempuh pendidikan S1 Tafsir Hadis, adalah pernyataan yang besar. Tetapi sekali lagi, rakyat tidak membutuhkan simbolisme; mereka menagih substansi.
Mengelola kota bukan sekadar rutinitas birokratis, tapi juga soal keberanian menyentuh yang tersisih—pasar tradisional yang terpinggirkan oleh minimarket berjaringan, guru honorer yang digaji di bawah upah minimum, anak-anak marginal yang terputus dari pendidikan. Inilah titik di mana ilmu Erwin diuji: apakah sanggup hadir dalam bentuk kebijakan yang membela yang lemah dan memperkuat yang rentan?
Erwin menyebut dirinya sebagai umaro—pemimpin publik yang mengemban nilai kenabian dan sosial. Ia mengaku meneladani delapan prinsip utama: fathonah, shidiq, tabligh, amanah, adil, toleran, berimbang, serta amar ma’ruf nahi munkar.
Namun seperti kata KH. Hasyim Asy’ari, “Pemimpin itu bukan hanya bisa bicara adil, tapi harus membuat keadilan itu terasa oleh mereka yang paling kecil.” Menerjemahkan fathonah dalam kebijakan artinya cerdas menelaah problem kota bukan dari meja rapat, tapi dari trotoar rusak dan antrean panjang di Puskesmas. Menerapkan amanah artinya tidak sekadar jujur secara pribadi, tetapi juga memastikan sistem bekerja secara bersih dan transparan.
Gelar doktor bukanlah akhir, melainkan awal dari tanggung jawab intelektual yang lebih besar. Kota Bandung sebagai pusat urban dengan dinamika sosial, ekonomi, dan pendidikan yang kompleks bisa menjadi laboratorium kebijakan publik yang berpijak pada riset dan bukan sekadar slogan.
Jika Erwin benar-benar ingin menyumbangkan keilmuannya untuk Kota Bandung, maka saatnya membentuk lembaga riset kebijakan daerah yang melibatkan akademisi lintas kampus dan komunitas warga. Riset tak boleh berhenti di jurnal kampus. Ia harus menjadi bahan baku dari perencanaan, implementasi, hingga evaluasi kebijakan publik.
Dalam sidang doktoralnya, Erwin berkata, “Ilmu ini saya persembahkan untuk kemaslahatan umat dan warga Kota Bandung.” Kalimat yang indah. Tapi ujian sebenarnya bukan di podium Uninus. Ujian sebenarnya adalah ketika ia harus memilih antara membela pedagang pasar tradisional atau tunduk pada kepentingan investor besar. Ketika ia harus memilih antara memperjuangkan subsidi pendidikan atau alokasi anggaran infrastruktur elitis.
Ilmu, jika tidak membela kemanusiaan, hanya akan menjadi menara gading yang runtuh oleh waktu. Tapi ilmu yang berpihak pada rakyat, akan hidup dalam sejarah.
Kini publik menanti: akankah Erwin membuktikan bahwa seorang doktor bisa menjadi pemimpin yang tidak hanya berpikir besar, tapi juga bertindak nyata? Atau ia hanya akan menjadi satu lagi nama yang tercetak di ijazah—namun dilupakan dalam ingatan rakyat?
Bandung menanti jawabannya.