Dizhola Jeleva dan Nada Dangdut “Bacan”: Simfoni Rasa dari Kota Minang

Avatar photo

Porosmedia.com, Bandung – Aroma rendang dan suara sendok yang berdenting di piring-piring pengunjung, musik mulai mengalun pelan dari panggung kecil di sudut RM Kota Minang, Bandung. Lampu temaram, mural air terjun, dan dentingan kendang khas Dangdut dan Minang menjadi latar hangat saat seorang perempuan cilik masih duduk di bangku sekolah dasar melangkah maju ke tengah ruangan. Namanya Dizhola Jeleva, penyanyi yang malam itu memperkenalkan single perdananya berjudul “Bacan (Baru Kenal Ngajak Jalan)” — lagu yang lebih dari sekadar alunan nada, melainkan cerminan perasaan generasi muda Minang hari ini.

Acara peluncuran yang digelar Minggu malam (6/7/2025)  yang digagas oleh UNY KOMINT PRO sekaligus orang tua dari Dhizola Jeleva itu bukan panggung biasa. Ini adalah panggung perlawanan terhadap stagnasi budaya, sekaligus panggung kasih sayang yang hangat antara keluarga, komunitas, dan musik lokal.

“Dizhola itu bukan nama yang muncul dari ruang hampa,” kata Uny, produser sekaligus pemilik UNY KOMINT PRO, ketika ditemui usai acara. “Dia lahir dari komunitas, dari latihan kecil-kecilan, dari panggung-panggung sederhana. Tapi semangatnya besar.”

Baca juga:  Dualisme PWI dan Jalan Terjal Rekonsiliasi Pers Indonesia

Dizhola Jeleva memang masih tergolong pendatang baru di belantika musik etnik-pop Minang. Namun ia membawa sesuatu yang berbeda: suara lembut yang tak dibuat-buat, ekspresi tulus, dan keberanian menyanyikan cerita cinta gadis cilik Minang dengan cara yang jujur, tanpa pretensi modernitas berlebihan. Lagu “Bacan”, ciptaan Soraya Liberty adalah manifestasi itu. Liriknya ringan tapi menusuk, tentang pengalaman “baru kenal langsung ngajak jalan,” dengan nada-nada dangdut jenaka sekaligus reflektif.

Acara malam itu dibuka oleh untaian lagu-lagu dangdut lawas dan Minang kontemporer, dibawakan secara bergantian oleh komunitas penyanyi dangdut dan seniman lokal. Tidak ada batas antara penonton dan pengisi acara bernyanyi bersama di pinggir panggung, dan para tamu sesekali ikut berjoget kecil.

Momen paling emosional terjadi saat pemotongan tumpeng. Dizhola membawa piring kecil berisi nasi kuning dan lauk diberikan kepada orang tuanya. Dengan tangan gemetar, pelukan singkat terjadi di tengah sorak sorai ruangan.

“Saya ingin setiap orang yang hadir malam ini merasa seperti di rumah sendiri,” ujar Uny panggilan Orang Tua Dizhola dengan mata berkaca-kaca. “Dhizola tumbuh di antara musik dan keluarga. Lagu Bacan dipersembahkan bukan hanya untuk pendengar, tapi untuk semua yang percaya bahwa lagu bisa menjadi pengikat silaturahmi.”

Baca juga:  Hendrik Markus de Kock Sadar menjebak Diponegoro adalah Pengecut

Dalam percakapan dengan Porosmedia, Uny menyatakan bahwa RM Kota Minang tidak hanya sekadar tempat makan — tetapi panggung budaya. “Kami tidak hanya menyajikan rendang dan dendeng. Kami menyajikan rasa dan identitas. Ketika banyak restoran hanya jadi tempat makan cepat, kami ingin ini jadi tempat berhenti sejenak, mengenang kampung halaman lewat lagu dan cerita.”

Kehadiran UNY KOMINT PRO dan dukungan komunitas menjadi jawaban atas pertanyaan klasik: bagaimana cara agar musik lokal tetap hidup di tengah dominasi industri musik digital dan konten cepat saji? Jawabannya bukan teknologi, melainkan ruang — ruang untuk tampil, berkumpul, berbagi, dan tumbuh.

Dizhola bukan satu-satunya yang tampil malam itu. Ia adalah bagian dari gelombang baru penyanyi perempuan cilik dari Minang yang menyadari pentingnya menjaga akar sambil menyesuaikan dengan zaman. Tampak juga dukungan dari sesama musisi senior dan penyanyi dangdut : Lisa Keong Racun, Kun Kun – Hayang Kawin, dan lainnya bercampur gaya modern.

“Saya ingin suara perempuan cilik dari Minang ini  hadir bukan hanya sebagai pelengkap di panggung. Tapi sebagai suara utama yang membangun narasi,” kata salah satu penyanyi senior Mak Ijah atau Shanty yang hadir malam itu.

Baca juga:  Pemkot Bandung Perkuat Satgas Anti Rentenir di Tingkat Kecamatan

Di tengah kebisingan algoritma dan tren sesaat, peluncuran “Bacan” mengingatkan kita bahwa musik adalah tentang manusia. Tentang tempat yang akrab, tentang wajah-wajah yang tersenyum tulus, dan tentang lagu yang tak hanya terdengar — tapi juga dirasa.