Oleh Yoseph Heriyanto
Menjelang peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia, jagat maya dan ruang-ruang publik diwarnai oleh sebuah fenomena yang tak biasa: berkibarnya bendera bajak laut dari serial One Piece, lengkap dengan simbol tengkorak dan topi jerami, di berbagai tempat di tanah air.
Dari tiang bambu di depan rumah warga, hingga kompleks perumahan dan tenda-tenda UMKM, bendera ini tampil berdampingan, atau bahkan menggantikan sejenak, sang Merah Putih. Fenomena ini menimbulkan tanya: apa yang sebenarnya sedang terjadi?
Apakah ini sekadar euforia budaya pop? Ataukah isyarat yang lebih dalam—tentang identitas, perlawanan, dan keresahan kolektif generasi muda terhadap kondisi bangsa?
Fenomena ini tidak muncul dalam serta merta. Serial One Piece, karya Eiichiro Oda, telah menjelma bukan hanya sebagai tontonan, tapi sebagai narasi besar tentang kebebasan, mimpi, perlawanan terhadap kekuasaan korup, dan solidaritas dalam keberagaman.
Dalam dunia fiksi itu, para tokohnya berlayar bukan sekadar mencari harta karun, tapi mencari arti kemerdekaan sejati—melawan hegemoni kekuasaan yang menindas dan membungkam kebenaran.
Bagi sebagian kalangan muda Indonesia yang tumbuh dalam bayang-bayang krisis multidimensi—dari krisis iklim, ketimpangan sosial, otoritarianisme gaya baru, hingga hilangnya rasa memiliki terhadap negara—bendera Jolly Roger bukan hanya simbol hiburan.
Ia menjadi metafora tentang pencarian kebebasan, harapan akan dunia yang lebih adil, dan kerinduan akan pemimpin yang jujur serta setia pada cita-cita rakyat.
Dalam konteks ini, Merah Putih tidak ditinggalkan. Justru, ia diajak berdialog. Karena Merah Putih, bagi banyak anak muda hari ini, bukan lagi simbol yang utuh secara makna. Ia telah terlalu lama digunakan sebagai ornamen seremonial, tanpa keberanian untuk menggugat ketidakadilan yang terus berlangsung di bawahnya.
Ketika janji kemerdekaan masih jauh dari kenyataan—kesejahteraan belum merata, suara rakyat sering dibungkam, dan hukum condong pada kekuasaan—maka simbol-simbol baru muncul, membawa semangat yang lebih jujur dan membumi.
Kibarnya bendera One Piece bisa dibaca sebagai bentuk ekspresi diam—sebuah sinyal bahwa generasi baru tidak menemukan dirinya di dalam narasi kenegaraan yang formalistik. Mereka butuh ruang imajinasi, tetapi juga ruang aktualisasi. Mereka merindukan narasi kebangsaan yang tidak menindas, tapi merangkul dan menghidupkan harapan.
Tentu saja, ini mengandung paradoks. Di satu sisi, kita sedang memperingati 80 tahun kemerdekaan—usia matang sebuah bangsa. Di sisi lain, kita menyaksikan simbol budaya asing berkibar sebagai representasi keresahan dalam negeri.
Ini bukan soal menggantikan identitas nasional, melainkan soal kegagalan sebagian aparatus negara dalam menghadirkan makna yang relevan dan membumi dari simbol-simbol nasional kita.
Salah satu aktivis yang kami temui—dan meminta namanya tidak disebutkan demi alasan keamanan—menyatakan dengan tegas bahwa fenomena ini bukan sekadar tren, tetapi bentuk perlawanan dan ketidakpercayaan terhadap negara.
“Kalau negara dan para pejabatnya masih seperti ini, maka perlawanan itu bukan hanya pengibaran bendera One Piece,” ujarnya.
Kalimat itu menggambarkan amarah yang selama ini terpendam, bahwa bagi sebagian kalangan, negara telah kehilangan legitimasi moral di mata rakyat muda yang kritis dan terpinggirkan.
Maka, bukan larangan atau pembungkaman yang dibutuhkan, tapi perenungan kolektif: Mengapa anak muda merasa lebih terhubung dengan bajak laut fiksi ketimbang tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan?
Apakah karena mereka tidak pernah diajak menjadi bagian dari perjuangan bangsa hari ini?
Apakah karena mereka hanya dianggap sebagai objek pembangunan, bukan sebagai subjek penentu arah masa depan?
Merah Putih dan Jolly Roger bukan untuk dipertentangkan. Tapi saat bendera bajak laut berkibar di mana-mana menjelang hari kemerdekaan, itu tandanya negeri ini sedang dipanggil untuk mendengar suara muda—yang mungkin tak banyak bicara, tapi sedang menegaskan: Kami sedang mencari arti kemerdekaan yang sesungguhnya.







