Dendam, Identitas, dan Kekerasan: Bedah Kasus Rivalitas Persib-Persija dari Perspektif Hukum, Sosial, dan Psikologis

Avatar photo

Porosmedia.com — Rivalitas antara Persib Bandung dan Persija Jakarta bukan sekadar cerita klasik dalam sejarah sepak bola Indonesia. Ia telah menjelma menjadi fenomena sosial kompleks yang kerap berujung pada kekerasan fisik, bahkan memakan korban jiwa. Peristiwa-peristiwa seperti kematian Haringga Sirla (2018) di Stadion Gelora Bandung Lautan Api menjadi simbol dari rivalitas yang tidak terkendali. Artikel ini membedah akar konflik ini dari perspektif hukum, sosial, dan psikologis, serta menelaah kenapa para pendukung dua klub legendaris ini seolah terus-menerus bertikai.

Asal-Usul Rivalitas: Bukan Sekadar Soal Bola

Rivalitas Persib dan Persija berakar kuat pada dimensi sejarah dan identitas kedaerahan. Persija, sebagai klub Ibu Kota, sering diasosiasikan dengan dominasi pusat kekuasaan, sementara Persib menjadi simbol perlawanan daerah, khususnya masyarakat Jawa Barat.

Menurut pengamat sepak bola Indonesia, Akmal Marhali, “Rivalitas ini mulai tereskalasi sejak era Liga Indonesia di awal 1990-an, saat kompetisi mulai menggabungkan klub-klub Perserikatan dan Galatama. Persib dan Persija, dua kekuatan besar dari masing-masing kubu, akhirnya berhadap-hadapan secara langsung, dan sejak itulah intensitas rivalitas meningkat tajam.”

Kondisi ini diperparah oleh narasi yang dibangun dalam media dan komunitas suporter. Kelompok pendukung seperti Bobotoh (Persib) dan The Jakmania (Persija) secara historis terlibat dalam kompetisi identitas dan dominasi ruang sosial, baik di stadion maupun di dunia maya.

Baca juga:  Dicky Saromi Berikan Arahan Saat Berkunjung ke TRC, LK3 dan PPKS

Perspektif Hukum: Ketika Suporter Menjadi Pelaku Kriminal

Bentrokan antar suporter kerap berujung pada tindakan kriminal, mulai dari pengeroyokan, penganiayaan, hingga pembunuhan. Namun, hingga kini, pendekatan hukum terhadap kekerasan suporter masih belum menyentuh akar persoalan.

Menurut Yenti Garnasih, pakar hukum pidana Universitas Trisakti, “Sebagian besar pelaku kekerasan dalam kasus suporter masih diproses sebagai pelaku individu. Padahal, mereka kerap merupakan bagian dari struktur kolektif yang terorganisir. Ini membutuhkan pendekatan hukum yang tidak hanya represif, tapi juga preventif dan struktural.”

UU No. 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan mengamanatkan pembinaan suporter sebagai bagian dari tanggung jawab klub dan federasi. Namun, pelaksanaannya masih lemah. Banyak klub yang hanya melakukan pembinaan formalitas, sementara federasi seperti PSSI belum punya mekanisme pengawasan yang kuat terhadap perilaku suporter.

Perspektif Sosial: Ketimpangan, Fanatisme, dan Maskulinitas Toksik

Sosiolog olahraga dari UGM, Hery Sulistyo, menyatakan bahwa fanatisme berlebih di kalangan suporter sepak bola di Indonesia tumbuh dalam kondisi sosial yang penuh frustrasi.

“Bagi banyak pemuda kelas bawah, menjadi bagian dari komunitas suporter adalah cara untuk memiliki identitas dan solidaritas. Namun ketika identitas itu dibangun di atas narasi permusuhan, kekerasan menjadi manifestasi dari perasaan berdaya,” kata Hery.

Baca juga:  75 Tahun Indonesia - Thailand: Batagor dan Tomyum Adu Kelezatan di Pendopo Kota Bandung

Dalam banyak kasus, suporter yang melakukan kekerasan berasal dari lingkungan yang rentan: miskin secara ekonomi, kurang akses pendidikan, dan minim ruang ekspresi. Rivalitas antar klub menjadi sarana pelampiasan emosi kolektif, yang disalurkan melalui simbolisme kekerasan.

Tak hanya itu, dominasi maskulinitas toksik dalam kultur suporter juga menjadi faktor penyebab. Kekerasan dianggap sebagai cara untuk menunjukkan keberanian dan loyalitas. Tawuran menjadi ritual pembuktian eksistensi.

Perspektif Psikologis: Efek Deindividuasi dan Dinamika Kelompok

Dalam psikologi sosial, konsep deindividuasi menjelaskan bagaimana seseorang dapat kehilangan identitas personalnya ketika menjadi bagian dari kerumunan. Mereka bertindak berdasarkan identitas kelompok, bukan logika personal.

Psikolog olahraga, Ratna Nuraini, menekankan bahwa dalam kerumunan, apalagi yang emosional seperti di stadion, kontrol diri cenderung hilang. “Mereka merasa tidak bertanggung jawab atas tindakan mereka karena larut dalam massa. Ditambah dengan penguatan dari rekan sekelompok, agresi menjadi sesuatu yang dirayakan.”

Ratna juga menyebutkan adanya pengaruh trauma kolektif. “Banyak suporter yang memiliki pengalaman buruk diserang oleh kelompok lawan. Ini menciptakan siklus dendam yang diwariskan antargenerasi.”

Baca juga:  Berlomba-lomba Galak, Hebat Yaa, DPR

Jalan Keluar: Rekonsiliasi atau Sekadar Ilusi?

Beberapa kali upaya rekonsiliasi antara Bobotoh dan Jakmania dilakukan, baik oleh klub maupun aparat keamanan. Namun, pendekatan yang sifatnya seremonial cenderung gagal meredakan konflik di level akar rumput.

Solusi jangka panjang memerlukan pendekatan multipihak:

1. Hukum yang Tegas dan Adil: Penegakan hukum harus konsisten, tidak hanya terhadap pelaku individu, tetapi juga pembina dan organisasi suporter jika lalai.

2. Pendidikan Suporter dan Literasi Sosial: Klub dan federasi harus menjalankan program edukasi berkelanjutan soal sportivitas dan antikekerasan.

3. Fasilitas Sosial Alternatif: Pemerintah daerah dapat menyediakan ruang ekspresi dan kegiatan komunitas bagi suporter di luar sepak bola.

4. Kampanye Kultural dan Naratif Baru: Media dan klub perlu membangun narasi persahabatan, bukan permusuhan. Rivalitas seharusnya menjadi semangat kompetitif, bukan kebencian yang membunuh.

Rivalitas Persib dan Persija bukan dosa, tapi kekerasan yang ditumbuhkannya adalah kegagalan kolektif kita semua. Sepak bola adalah hiburan, bukan medan perang. Jika kita terus membiarkan fanatisme yang buta, maka stadion bukan lagi rumah persaudaraan, melainkan arena dendam.