Dari Jalanan Untuk Kota Bandung 

Usulan KPJ Jawa Barat kepada DPRD Kota Bandung: Jalan Panjang Pengakuan Musisi Jalanan sebagai Pelaku Budaya

Avatar photo

Porosmedia.com, Bandung – Kelompok Penyanyi Jalanan (KPJ) Jawa Barat kembali mengingatkan bahwa musisi jalanan bukan sekadar pelengkap suasana kota, melainkan bagian dari denyut kebudayaan yang hidup di Bandung. Ketua KPJ Jawa Barat, Kang Cepy, menegaskan bahwa selama ini para seniman jalanan sering dianggap masalah sosial, padahal peran mereka justru menghidupkan ruang kota dan menjadi medium ekspresi budaya rakyat yang paling jujur.

Berangkat dari semangat UU Pemajuan Kebudayaan dan amanat PP No. 5 Tahun 2017, KPJ mengusulkan tujuh poin strategis kepada Komisi I dan Komisi IV DPRD Kota Bandung untuk kemudian diteruskan kepada Wali Kota Bandung. Usulan ini bukan sekadar wacana seremonial, tetapi peta jalan konkret agar musisi jalanan memperoleh pengakuan, perlindungan, dan ruang berkarya yang manusiawi.

Kang Cepy menilai bahwa kota yang maju adalah kota yang memberi tempat bagi kreativitas warganya. KPJ mendorong Pemkot Bandung untuk menyediakan ruang-ruang publik khusus, seperti taman musik, panggung terbuka, hingga festival berkala yang menampilkan karya musisi jalanan. Ini bukan bentuk belas kasihan, melainkan investasi budaya untuk jangka panjang.

Baca juga:  DPRD DKI Josephine Sosialisasikan Perda Transformasi PAM Jaya Menjadi Perumda untuk Perkuat Layanan Air Bersih

Menurutnya, musisi jalanan tidak kurang bakat—yang kurang adalah akses. Karena itu KPJ mengusulkan program pelatihan vokal, musik, hingga manajemen kreatif bekerja sama dengan komunitas seni dan lembaga pendidikan. Tujuannya sederhana: kemampuan naik, martabat naik.

Kang Cepy menekankan perlunya payung hukum yang jelas agar musisi jalanan tidak lagi diperlakukan seperti pelanggar ketertiban umum. Pengaturan mengenai lokasi, jam tampil, dan mekanisme koordinasi harus dibuat secara adil dan tidak represif. Musisi jalanan harus diakui sebagai profesi budaya, bukan sebagai gangguan.

KPJ melihat peluang besar melalui kemitraan dengan studio rekaman, penyelenggara event, dan manajer artis. “Banyak musisi besar yang lahir dari jalanan. Kota hanya perlu membuka pintunya,” ujar Kang Cepy. Kolaborasi seperti ini akan membantu musisi jalanan memperoleh akses ekonomi yang lebih layak.

Bandung dikenal sebagai kota kreatif, namun paradoksnya, musisi jalanan belum sepenuhnya masuk dalam narasi resmi promosi wisata. KPJ meminta agar musik jalanan dimasukkan dalam event pariwisata, agenda kebudayaan, hingga publikasi kota. Mereka adalah identitas budaya yang hidup—bukan dekorasi yang bisa disisihkan.

Baca juga:  Wamenag Sampaikan Belasungkawa Musibah di Gontor Kampus 5 dan Imbau Evaluasi Sarpras untuk Keselamatan

Berkaca pada amanat UU Pemajuan Kebudayaan, KPJ mendorong Pemkot untuk menyusun skema jaminan sosial atau asuransi kesehatan yang terjangkau bagi musisi jalanan, khususnya mereka yang sudah berusia lanjut. “Seniman itu manusia, bukan mesin hiburan,” tegas Kang Cepy.

Agar karya dan keahlian musisi jalanan diakui secara formal, KPJ mengusulkan adanya program sertifikasi seni tingkat daerah. Sertifikat ini dapat membuka pintu mereka masuk ke panggung-panggung resmi, proyek budaya, hingga kolaborasi lintas sektor.

Usulan KPJ Jawa Barat bukan tuntutan yang muluk. Semuanya dapat dijalankan dengan regulasi yang ada dan selaras dengan agenda pemajuan kebudayaan. Kang Cepy menegaskan bahwa musisi jalanan bukan sekadar penghibur pinggir trotoar—mereka adalah penjaga ruh kota. Jika Kota Bandung ingin tetap menjadi kota kreatif, maka ia harus mulai mengakui, melindungi, dan memberdayakan para pelaku budaya yang selama ini hadir tanpa fasilitas, tanpa panggung, namun tetap menyumbang harmoni bagi kehidupan kota.