Bukan Elang atau Macan Tutul — Ancaman Terbesar bagi Lutung Jawa Justru Bernama Homo Sapiens

Avatar photo

Porosmedia.com – Di ekosistem hutan Jawa, lutung—primata yang dikenal cerdas dan sosial—menempati posisi penting dalam rantai makanan. Secara alami, mereka berada di bawah dua predator utama: macan tutul dan elang.

Macan tutul mampu memburu lutung hingga ke atas pohon berkat kemampuan memanjatnya yang luar biasa. Sementara itu, elang memilih sasaran yang lebih mudah: anak-anak lutung yang belum cekatan melarikan diri. Dua predator ini menjaga keseimbangan alam sebagaimana seharusnya.

Namun, keseimbangan itu berubah drastis. Seiring berkurangnya habitat dan meningkatnya tekanan antropogenik, ancaman terbesar bagi lutung hari ini bukan lagi dari alam, tetapi dari spesies yang seharusnya menjadi penjaga planet ini: manusia.

Macan tutul hanya memangsa ketika lapar. Manusia tidak. Dalam berbagai kasus, lutung ditangkap bukan untuk kelangsungan hidup para pemburu, tetapi untuk diperjualbelikan atau bahkan dijadikan konsumsi—tanpa mempertimbangkan kelestarian jenisnya.

Ketika populasi lutung masih melimpah, mereka sering dijumpai keluar hutan dan memasuki ladang warga, terutama untuk mencuri jagung atau tanaman muda. Kini situasinya berbalik: lutung Jawa telah masuk kategori satwa yang dilindungi karena populasinya terus menurun tajam.

Baca juga:  Studi Tur Tak Wajib: Wakil Wali Kota Bandung Tegaskan Sekolah Jangan Bebani Orang Tua

Dua faktor menjadi penyebab utama: 1. Hilangnya habitat akibat alih fungsi hutan. 2. Perburuan yang dilakukan secara ilegal dan berulang.

Dalam sejumlah laporan, lutung yang tertangkap tidak hanya dijual sebagai hewan peliharaan, tetapi juga dikonsumsi dalam bentuk hidangan tertentu. Ada anggapan keliru bahwa karena bau tubuh dan kotorannya mirip kambing, dagingnya pun “layak” dimakan. Pemahaman ini jelas menyesatkan dan berdampak fatal bagi kelestarian spesies.

Meskipun berwajah lucu dan tampak jinak di usia bayi, memelihara lutung bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga merusak kesejahteraan satwa tersebut. Menurut peraturan konservasi, satwa liar dilindungi hanya boleh dirawat oleh lembaga resmi seperti kebun binatang, pusat rehabilitasi, atau lembaga penelitian yang berizin.

Di lingkungan rumah tangga, lutung cenderung mengalami stres kronis. Mereka adalah primata sosial yang membutuhkan interaksi sesama jenis, terutama melalui grooming, sebuah aktivitas penting yang mempererat hubungan dan menjaga kesehatan mental mereka. Di rumah manusia, kebutuhan ini tidak terpenuhi. Dampaknya jelas: lutung menjadi murung, agresif, atau mengalami perilaku abnormal lainnya.

Baca juga:  Roy Suryo : "Intinya soal "Pelaporan" yang Konyol itu, Kita senyumin saja"!

Tidak sedikit pula pemilik yang akhirnya kewalahan ketika lutung tumbuh dewasa dan tidak lagi terlihat “menggemaskan”. Banyak dari mereka yang kemudian menyerahkannya ke kebun binatang atau pusat rehabilitasi, meninggalkan jejak trauma pada satwa tersebut.

Melestarikan lutung Jawa tidak sekadar menyelamatkan satu spesies, tetapi menjaga keseimbangan hutan Jawa secara keseluruhan. Sebagai pemakan buah dan daun, lutung berperan dalam penyebaran biji dan regenerasi hutan. Hilangnya mereka berarti hilangnya salah satu penopang utama ekosistem.

Pada akhirnya, ancaman terbesar terhadap lutung bukanlah predator alami, melainkan perilaku manusia yang tidak terkendali. Jika kita ingin generasi mendatang masih bisa menyaksikan lutung bergelantungan di pepohonan hutan Jawa, maka perburuan harus dihentikan, habitat harus dijaga, dan edukasi publik harus diperkuat.

Konservasi bukan pilihan, tetapi kewajiban moral. Sebab, masa depan lutung—dan hutan Jawa—sangat bergantung pada keputusan Homo sapiens hari ini.