Tidak Layak Menjadikan Ketiadaan Nabi Sebagai Pembenaran
Apakah karena Nabi shalallahu ‘alayhi wassallam tidak ada, lantas menjadikan kaum muslimin berhenti mengikuti ajaran beliau? Lalu tidak lagi meneladani beliau dalam kehidupan serta tidak menerapkan apa yang beliau bawa? Tentu saja tidak. Bukankah Nabi sendiri telah menyatakan bahwa beliau telah meninggalkan Al-Qur’an dan sunnah sebagai warisan terbesar bagi kaum muslimin? Maka pernyataan Menkopolhukam bahwa karena ketiadaan Nabi maka haram mendirikan negara seperti Nabi sangat tidak dapat dibenarkan.
Selanjutnya terkait solusi masalah kekinian yang menimpa masyarakat sementara Nabi saat ini sudah tidak ada, jawabannya mudah. Sekali lagi, kaum muslimin telah mendapatkan warisan Nabi yang berharga, Al-Qur’an dan AsSunnah. Bersama dengan bekal ini, kaum muslimin dituntut untuk memahami, mengkaji dan menelaah berbagai tsaqofah Islam, termasuk ilmu fikih. Memang benar, Nabi telah tiada. Namun, hukum-hukum Islam masih tetap ada dan nyata bahkan terus bertambah seiring dengan bertambahnya para mujtahid yang menggali hukum. Dengan demikian, sungguh tidak layak mengalaskan ketiadaan Nabi sebagai pembenaran pernyataan mendirikan negara seperti Nabi itu haram.
Setiap Manusia Wajib Meneladani Rasulullah SAW
Rasulullah shalallahu ‘alayhi wassalam adalah teladan yang terbaik bagi seluruh manusia di muka bumi ini. Allah Taala telah menyatakan hal tersebut dengan firman-Nya di Q.S Al-Ahzab : 21
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
Dan Q.S Al-Hasyr : 7
“Apa saja yang Rasul bawa kepadamu, maka ambillah. Apa saja yang ia larang atas kalian, maka tinggalkanlah. Bertakwalah kalian kepada Allah. Sungguh Allah amat keras hukuman-Nya.”
Kedua ayat di atas telah memerintahkan kita dengan sangat jelas untuk meneladani Rasulullah saw, dalam semua aspek kehidupan. Menurut Ustadzah Najmah Saiidah, seorang muslimah pemerhati politik, lafadz “maa” dalam Q.S Al-Hasyr : 7 bermakna umum, artinya apapun segala sesuatu yang Rasul bawa, kita harus ambil, dan segala yang ia larang harus kita tinggalkan. Selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya.
Oleh karena itu, tidak boleh hanya meneladani Rasulullah pada aspek-aspek tertentu saja. Wajib bagi kaum muslimin untuk meneladani seluruh perilaku Rasulullah kecuali pada aspek khusus (hanya Nabi sajalah yang bisa melakukannya). Seperti berpoligami lebih dari empat orang dan puasa wishal.
Aturan Islam itu bukanlah prasmanan, yang ketika suka maka comot dan jika tidak suka maka tinggalkan. Tuntunan Nabi shalallahu ‘alayhi wassalam sangat jelas agar kaum muslimin bisa meneladaninya secara keseluruhan (kaffah). Termasuk aspek hukum dan pemerintahan. Jika kita menerapkan batas-batas terhadap teladan Rasul, maka hal tersebut adalah bentuk pengerdilan terhadap beliau. Na’udzubillahi min dzalik.
Lanjut ke halaman berikutnya >>>