Banyak, Tapi Zonk: Refleksi Kritis atas Kebanggaan Semu

Avatar photo

Oleh: Sugiran LIN

Porosmesia.com – Belakangan ini, saya sering menyimak orang-orang berlomba menunjukkan kebanggaan karena agamanya memiliki jumlah pemeluk terbanyak di dunia, atau karena pertumbuhannya diklaim paling pesat. Tapi, benarkah angka-angka itu bermakna?

Marcus Aurelius, Kaisar Romawi dan filsuf stoik, pernah menulis dalam Meditations:

“Jumlah yang banyak itu tidak ada artinya kalau semua tidak paham apa pun. Pendapat ribuan orang sekalipun tidak bermakna apa pun, kalau yang ngomong tidak paham yang sedang dibicarakan. Kuantitas tanpa kualitas itu zonk.”

Apa gunanya angka besar jika kosong makna? Pertumbuhan cepat tak berarti apa-apa jika sekadar hasil reproduksi tanpa refleksi. Ketika populasi dunia membludak pada 2030, ledakan jumlah hanya akan menjadi beban—terhadap pangan, tempat tinggal, dan daya dukung bumi yang kian menipis. Kita terjebak dalam glorifikasi angka, padahal realitas sosial, ekologis, dan intelektual menuntut kedalaman, bukan kebisingan statistik.

Dalam struktur sosial, piramida kekuasaan selalu menunjukkan bahwa yang sedikit mengendalikan yang banyak. Di puncak, hanya segelintir orang berkuasa. Di bawah, massa besar menjadi pelaksana. Pemilik ratusan domba hanya butuh dua atau tiga anjing gembala. Cowboy di Wild West tak pernah lebih banyak dari kawanan sapi yang mereka arahkan.

Baca juga:  Saatnya Wali Kota Bandung Melakukan Reformasi Birokrasi yang Nyata: Tampak Rapi, Tapi Dalamnya Rapuh

Fenomena ini tak hanya terjadi pada binatang, tapi juga pada manusia. Meski katanya memiliki free will, banyak orang justru bangga menjadi bagian dari kawanan—bangga karena jumlahnya banyak, namun tanpa sadar sedang digiring. Ironisnya, mereka percaya bahwa arah yang mereka tuju adalah pilihan bebas, padahal mereka hanya mengikuti bisikan para penggembala opini.

Plato pernah menyatakan bahwa watak sejati manusia paling tampak bukan dari ucapannya, tetapi dari tindakannya—terutama dalam situasi alami seperti permainan.

“Dalam satu jam bermain, kita bisa melihat karakter seseorang lebih jujur daripada dalam satu jam percakapan.”

Permainan membuka ruang tanpa topeng. Di sana, muncul spontanitas, ketulusan, dan ketidaktertutupan yang selama ini dibungkam oleh etika sosial yang penuh basa-basi. Dalam permainan, terlihat siapa yang curang, siapa yang sportif. Terlihat siapa yang rela bekerjasama, siapa yang gila menang sendiri.

Pesan tersiratnya: Watak sejati tidak muncul dari jargon, tapi dari aksi.

Maka pertanyaannya, maukah kita keluar dari kawanan? Atau kita masih merasa nyaman dalam zona kebanggaan semu—yang banyak, tapi zonk?

Baca juga:  Apakah THR dan BLT Wujud Jaminan Kesejahteraan?