BANGKIT BANDUNG: “Wali Kota Bandung, Beri Kami Jawaban”

Avatar photo

Oleh: R. Wempy Syamkarya, SH., MM.
Pengamat Kebijakan Publik dan Politik

Porosmedia.com – Masyarakat Kota Bandung memiliki hak konstitusional untuk menilai, mengkritisi, dan meminta pertanggungjawaban atas kinerja Pemerintah Kota Bandung. Dalam negara demokrasi, kontrol publik terhadap penyelenggara pemerintahan merupakan instrumen penting untuk memastikan pembangunan berjalan sesuai harapan masyarakat.

Dalam konteks ini, muncul pertanyaan besar dari warga: apakah kinerja Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan, telah menjawab kebutuhan nyata masyarakat? Jika publik menilai bahwa perubahan yang dijanjikan tidak terjadi atau belum terlihat signifikan, maka kritik yang mengemuka adalah bagian dari dinamika demokrasi yang wajar dan sah.

Pernyataan-pernyataan publik mengenai kemungkinan “pengunduran diri” kepala daerah tidak boleh dipahami sebagai seruan anarkis, melainkan sebagai ekspresi politik masyarakat yang ingin mendorong evaluasi lebih serius terhadap tata kelola pemerintahan. Semua harus ditempatkan dalam koridor hukum dan mekanisme politik yang berlaku.

Masyarakat Bandung memiliki ruang untuk menyampaikan keberatan, kritik, maupun tuntutan perbaikan melalui jalur yang sah. Jika publik memandang Wali Kota tidak memenuhi ekspektasi, mereka berhak menyuarakan evaluasi dan meminta adanya langkah-langkah korektif—baik dari eksekutif maupun legislatif.

Namun seluruh proses itu hanya dapat dilakukan melalui mekanisme demokratis, damai, dan terukur, sesuai Undang-Undang 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, UU 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat, dan aturan hukum lainnya.

Baca juga:  Bamsoet di Pameran PPMKI Bali: Mobil Klasik Bukan Sekadar Gaya, Tapi Investasi Bernilai Tinggi

Berikut jalur yang absah dan aman secara hukum dalam menyampaikan evaluasi terhadap kinerja Wali Kota Bandung:

1. Menyampaikan Aspirasi kepada DPRD Kota Bandung

Warga dapat menghubungi anggota DPRD sebagai pihak yang memiliki fungsi pengawasan terhadap jalannya pemerintahan daerah.

2. Mengadakan Forum Diskusi Publik

Diskusi publik, FGD, atau forum akademis dapat diselenggarakan untuk mengkaji kinerja pemerintah kota secara objektif dan mencari solusi komprehensif.

3. Mendorong DPRD Menggunakan Hak Interpelasi

Hak interpelasi adalah mekanisme resmi DPRD untuk meminta penjelasan mendalam dari Wali Kota mengenai kebijakan yang dinilai bermasalah atau tidak efektif.

4. Mendorong Penggunaan Hak Angket atau Mosi Tidak Percaya (Jika Diperlukan)

Langkah ini hanya dapat dilakukan DPRD berdasarkan prosedur hukum, evaluasi objektif, dan bukti-bukti kuat. Masyarakat hanya dapat mendorong, bukan memaksa.

Seluruh proses ini bukan untuk menjatuhkan, melainkan sebagai mekanisme penyeimbang (checks and balances) demi perbaikan pemerintahan kota.

Agar aspirasi publik tidak berpotensi masuk ranah pidana, masyarakat perlu memahami batas-batas hukumnya:

1. Pasal Kerusuhan atau Tindak Anarkis

Baca juga:  Jalin Ikatan Silaturahmi Dan Kekeluargaan NasDem Kota Cimahi Buka Puasa Bersama

Aksi yang tidak damai dapat menimbulkan risiko pidana bagi peserta.

2. Pasal Penghinaan Terhadap Pejabat

Pernyataan yang menyerang kehormatan pribadi pejabat dapat dipersoalkan secara hukum.

3. Pasal Penistaan terhadap Institusi Pemerintah

Ungkapan yang merendahkan institusi negara dapat menimbulkan konsekuensi pidana.

4. Pasal Penghambatan Kegiatan Pemerintah

Aksi yang memblokir pelayanan publik atau menghambat tugas pemerintahan dapat dipidana.

Untuk menghindari risiko hukum, masyarakat dapat: Mengikuti seluruh prosedur perizinan aksi dan kegiatan. Menjaga aksi masyarakat tetap damai dan tertib. Menghindari tindakan anarkis atau provokasi. Menghargai hak-hak pengguna jalan dan fasilitas publik dan Mengutamakan dialog, argumentasi berbasis data, dan pendekatan hukum.

Kritik yang tertata, berbasis regulasi, dan disampaikan melalui ruang partisipasi publik justru akan lebih efektif mendorong perubahan nyata.

Sebagai lembaga representasi rakyat, DPRD memiliki kedudukan strategis dalam menyikapi gejolak sosial yang muncul. DPRD seharusnya:

1. Menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan masyarakat.

2. Melaksanakan interpelasi terhadap Wali Kota bila ditemukan masalah kebijakan.

3. Melakukan investigasi atas isu publik tertentu.

4. Mengajukan mosi politik, termasuk mosi tidak percaya, bila evaluasi menyimpulkan adanya kegagalan tata kelola.

5. Menyusun atau merevisi Perda yang diperlukan untuk menjawab kebutuhan masyarakat.

Baca juga:  Pemkot Bandung Genjot Serapan Kerja lewat 2.600 Lowongan di Job Fair 2025

Bila DPRD menjalankan fungsinya secara optimal, kepercayaan publik terhadap pemerintahan daerah akan pulih.

Beberapa indikator yang cukup menonjol:

Pemberitaan media mengenai problem pelayanan publik, infrastruktur, dan tata kelola pemerintahan.

Survei opini publik yang menunjukkan penurunan kepuasan masyarakat.

Aksi masyarakat yang muncul spontan maupun terstruktur.

Indikator tersebut tidak otomatis membuktikan kegagalan, tetapi menjadi alarm politik bahwa pemerintah kota perlu melakukan langkah korektif yang cepat, terukur, dan transparan.

Mengapa Evaluasi Menjadi Mendesak?

1. Tata kelola pemerintahan yang dinilai belum optimal.

2. Ekspektasi masyarakat yang belum terjawab secara nyata.

3. Wewenang DPRD sebagai pengawas yang harus bekerja lebih aktif.

Evaluasi tidak dimaksudkan untuk melemahkan kepala daerah, tetapi untuk memastikan Bandung kembali bergerak ke arah yang benar.

Wali Kota, DPRD, akademisi, LSM, komunitas profesional, tokoh masyarakat, dan seluruh elemen organisasi mempunyai tanggung jawab moral dan politik untuk memastikan Bandung bangkit kembali.
Tidak ada satu pihak pun yang boleh merasa berada di luar persoalan.

Bandung harus dipikirkan bersama, dikawal bersama, dan diperbaiki bersama.

Foto : ilustrasi gemini