Bandung Versus Barcelona: Kajian Historis dan Analisis Populer Dua Kota Termacet

Avatar photo

Oleh: Anto Ramadhan ( Praktisi Media)

Porosmedia.com – Bandung dan Barcelona, dua kota yang secara geografis, historis, dan kultural sangat berbeda, kini berbagi satu masalah utama: kemacetan lalu lintas. Kendati berada di dua benua berbeda, keduanya menyimpan pelajaran penting dalam perencanaan kota, transportasi publik, dan dinamika mobilitas urban. Melalui pendekatan historis dan analisis multidimensi, kita dapat memahami bagaimana kemacetan di kedua kota ini muncul bukan sebagai kejadian spontan, melainkan akibat panjang dari sejarah pertumbuhan, tata ruang, dan budaya transportasi.

Kota Bandung lahir dari keputusan administratif Bupati Wiranatakusumah II pada tahun 1810, atas perintah Gubernur Jenderal Daendels untuk membangun Jalan Raya Pos sebagai jalur militer. Pusat kota dirancang secara tradisional: alun-alun dikelilingi oleh masjid, pasar, dan pendopo. Pada awal abad ke-20, Bandung berkembang menjadi pusat kolonial dengan julukan “Parijs van Java”, berkat kemajuan industri perkebunan teh dan kina, serta rel kereta api. Namun, pertumbuhan kota ini tidak diiringi dengan perencanaan transportasi yang matang.

Pasca-kemerdekaan, Bandung mengalami kehancuran dalam peristiwa Bandung Lautan Api (1946), lalu dibangun kembali dengan karakter pembangunan yang sporadis. Urbanisasi dan industrialisasi tekstil kemudian memicu lonjakan populasi secara drastis, dari 230 ribu jiwa (1940) menjadi lebih dari 2,5 juta jiwa (2024).

Di sisi lain, Barcelona berakar dari kota Romawi kuno bernama Barcino (sekitar 15 SM), dengan tata kota castrum khas kamp militer. Perluasan kota tertahan selama berabad-abad oleh tembok kota. Baru pada abad ke-19, melalui rancangan Ildefons Cerdà, Barcelona mengalami ekspansi besar-besaran dengan pola grid distrik L’Eixample yang inovatif, meski pada praktiknya terjadi kepadatan tiga kali lipat dari perencanaan awal akibat spekulasi properti. Statusnya sebagai ibu kota budaya dan ekonomi Catalunya setelah masa pemerintahan Franco, menjadikan Barcelona destinasi migrasi dan pariwisata global, dengan populasi metropolitan mencapai 5,7 juta jiwa (2025).

Baca juga:  Kelompok Marginal Dapat Hak Pilih di Pilkada 2024

Bandung secara geografis berada dalam “mangkuk” dataran tinggi, dikelilingi oleh pegunungan yang membatasi ekspansi horizontal. Hanya sekitar 11% dari total luas kota yang digunakan untuk jaringan transportasi. Dominasi kendaraan pribadi mencapai 2,3 juta unit untuk populasi sekitar 2,6 juta jiwa, yang menyebabkan kepadatan luar biasa. Sistem angkutan kota (angkot) mengalami stagnasi karena trayek yang kaku dan tidak terintegrasi, kalah bersaing dengan moda transportasi daring.

Teknologi pengaturan lalu lintas pun belum modern. Sebagian besar lampu lalu lintas masih bekerja dengan sistem durasi statis. Upaya akademis seperti penerapan Rumus Webster – untuk optimasi lampu lalu lintas berdasarkan kapasitas kendaraan real-time – telah diuji di wilayah seperti Soreang, namun belum diterapkan secara luas.

Sementara itu, Barcelona mewarisi tata kota campuran: distrik lama seperti Barri Gòtic memiliki jalan sempit yang tidak kompatibel dengan kendaraan modern, sementara area L’Eixample menawarkan ruang yang lebih terbuka namun sudah terlalu padat. Sebagai pelabuhan tersibuk di Mediterania, lalu lintas truk, wisatawan, dan komuter memperberat beban transportasi. Meskipun memiliki sistem metro dan bus yang modern, kota ini juga terkendala geografis karena diapit laut dan pegunungan Tibidabo, yang membatasi perluasan infrastruktur.

Baca juga:  Gempa Guncang Poso, Kodim 1307/Poso Gerak Cepat Lakukan Pertolongan

Revitalisasi kota pasca-Olimpiade 1992 memang membawa modernisasi, namun belum mampu menyelesaikan problem mobilitas secara menyeluruh. Tingginya angka turisme (20 juta pengunjung per tahun) turut menambah tekanan terhadap jaringan transportasi kota.

Dalam survei TomTom Traffic Index 2024, Bandung dinobatkan sebagai kota termacet di Indonesia, dengan waktu tempuh rata-rata 32–33 menit per 10 km. Wali Kota Bandung, Muhamad Farhan, merespons dengan mengatakan “Saya malu!” dan mengusulkan penghapusan sistem trayek angkot, menggantinya dengan model transportasi berbasis carter, mirip dengan ojek daring. Alumni ITB pun mengusulkan optimalisasi sistem lampu lalu lintas menggunakan pendekatan teknis berbasis data nyata.

Barcelona, meskipun tidak masuk daftar kota termacet dunia, menghadapi tantangan kepadatan yang ekstrem, terutama di distrik seperti Eixample, dengan kepadatan hingga 92.000 jiwa/km². Transportasi pribadi tetap tinggi, tetapi perlahan berkurang karena adanya insentif penggunaan transportasi publik, jalur sepeda, dan kesadaran ekologis warga.

Bandung masih didominasi oleh penggunaan angkot yang tidak distandarisasi, tidak terjadwal, dan minim kenyamanan. Fasilitas bagi pejalan kaki dan pesepeda pun belum memadai. Kemacetan terjadi bukan hanya karena volume kendaraan, tetapi juga karena tata kota yang tidak ramah terhadap pergerakan non-motoris.

Baca juga:  Novel Out of Order, Peluncuran Buku Bertajuk The Tales of the Urban Misfits

Sebaliknya, di Barcelona, penggunaan kendaraan pribadi tetap ada, namun semakin banyak warga yang berpindah ke moda transportasi umum dan sepeda karena insentif serta infrastruktur yang mendukung. Tingkat kesadaran akan keberlanjutan dan efisiensi mobilitas lebih tinggi di kalangan warga.

Kemacetan di Bandung dan Barcelona adalah produk interaksi sejarah pertumbuhan kota, kebijakan transportasi, dan perilaku masyarakat. Bandung menghadapi “ledakan urban” yang tidak terkendali, sedangkan Barcelona berjuang menyeimbangkan warisan tata kota padat dengan tuntutan modernitas dan pariwisata global.

Keduanya, pada akhirnya, bisa dilihat sebagai “korban kesuksesan” — kota yang tumbuh pesat karena daya tariknya, tetapi belum sepenuhnya siap mengelola kompleksitas mobilitas modern. Tantangan bagi keduanya kini bukan hanya mengurai kemacetan, melainkan juga menata ulang cara berpikir tentang ruang kota dan hak mobilitas warganya.