Porosmedia.com, Bandung – Kebakaran bukan sekadar urusan pemadaman. Di Kota Bandung, tantangan nyata justru terletak pada infrastruktur yang belum memadai dan minimnya sistem proteksi kebakaran yang terintegrasi dalam perencanaan tata kota.
Hal ini menjadi sorotan dalam program Parlemen Talks di Radio Sonata, Selasa (10/6/2025), ketika Anggota Komisi III DPRD Kota Bandung, Iqbal Mohamad Usman, S.I.P., S.H., mengingatkan bahwa semangat kolaborasi antarlembaga harus disertai dengan evaluasi menyeluruh terhadap kesiapan sistem kebencanaan kota.
Iqbal mengapresiasi respons cepat petugas pemadam kebakaran—yang menurutnya layak disebut “pahlawan tanpa tanda jasa”. Ia merujuk pada pengalaman pribadi saat terjadi kebakaran di kawasan Antapani yang berhasil ditangani dalam waktu kurang dari lima menit.
Namun ia menekankan bahwa kecepatan itu bisa menjadi sia-sia jika akses jalan ke lokasi kebakaran tidak memadai.
“Armada sudah cukup, tapi jalan sempit dan padat jadi penghambat utama. Ini masalah infrastruktur yang masih belum tuntas dan harus jadi perhatian serius Komisi III,” ujar Iqbal.
Iqbal juga menyoroti kekosongan sistemik dalam penyediaan sarana pendukung kebakaran, seperti hidran dan akses air di wilayah padat dan rawan.
“Wilayah seperti Bukit Batu memiliki tujuh titik hidran, tapi belum tentu seluruhnya berfungsi optimal. Proteksi kebakaran seharusnya jadi bagian dari perencanaan infrastruktur dasar, bukan pelengkap belakangan,” tegasnya.
Kepala Bidang Pemadaman dan Penyelamatan Disdamkarmat Kota Bandung, M. Yusuf Hidayat, menjelaskan bahwa institusinya kini memikul tanggung jawab lebih luas: tidak hanya pemadaman, tetapi juga penyelamatan, mitigasi, dan edukasi publik.
“Kami menangani lebih dari 113 kejadian kebakaran hingga pertengahan 2025. Tren ini naik tiap tahun. Tapi 90 persen kebakaran terjadi karena kelalaian manusia. Artinya, edukasi harus diprioritaskan, bukan hanya reaksi ketika kebakaran terjadi,” jelas Yusuf.
Ia menambahkan bahwa penyebab dominan seperti korsleting listrik, pembakaran sampah, atau penggunaan terminal listrik berlebihan harus disikapi lewat strategi pencegahan berbasis kawasan, dengan pelibatan masyarakat setempat.
“Kami ingin masyarakat bisa bertindak cepat di menit-menit awal. Ini soal penyelamatan nyawa, bukan sekadar aset. Maka pelatihan, simulasi, dan alat sederhana seperti APAR atau karung basah harus dikenalkan secara masif,” tegasnya.
Yusuf juga menggarisbawahi minimnya armada khusus untuk gedung tinggi, serta belum optimalnya penerapan sistem proteksi seperti sprinkler atau jalur evakuasi standar di bangunan komersial.
“Regulasi teknis harus ditegakkan. Banyak gedung di Bandung yang belum patuh pada standar proteksi kebakaran. Ini bukan hal sepele, tapi soal keselamatan publik.”
Disdamkarmat kini berkoordinasi erat dengan BPBD Kota Bandung dalam upaya memastikan pemenuhan Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk urusan wajib penanggulangan kebakaran, seperti yang diamanatkan undang-undang.
Fakta bahwa 113 kasus kebakaran sudah terjadi hanya dalam setengah tahun menunjukkan bahwa Bandung bukan hanya butuh pemadam cepat, tapi sistem yang lebih terencana. Kota ini harus serius membangun infrastruktur pencegahan, regulasi proteksi, serta budaya siaga api di level warga.
Semangat kolaborasi memang penting, namun kolaborasi yang tidak disertai penguatan sistem hanya akan jadi narasi—bukan solusi.